Keberhasilan dan Kegagalan ibarat
dua keping mata uang logam. Keberhasilan secara umum diartikan sebagai sebuah
kemenangan, sedangkan kegagalan identik dengan sebuah kekalahan. Taukah kawan,
terkadang keberhasilan itu tidak semua memiliki arti kemenangan dan begitu pula
kegagalan juga dapat menjadi sebuah kemenangan.
Keberhasilan akan menjadi sebuah
kegagalan tatkala ketika keberhasilan itu adalah keberhasilan semu yang berarti
keberhasilan tersebut hanya nampak berhasil
namun secara hakiki merupakan kekalahan. Kesalahan dalam memandang keberhasilan
akan memberi dampak besar pula dalam kesalahan menafsirkan pencapaian. Kesalahan
menafsirkan pencapaian juga akan menimbulkan ketidakjelasan pergerakan
. Nah, disini kami melihat bahwa perpustakaan
di Indonesia juga harus menentukan standar ukuran keberhasilan yang hakiki,
agar pergerakan yang selama ini diusahakan akan semakin kearah progress yang signifikan.
Penulis mengamati, kondisi
perkembangan perpustakaan di Indonesia khususnya belum mengarah pada pergerakan
yang massif. Perpustakaan sampai
sekarang masih menjadi tempat “pembuangan” bagi pegawai-pegawai bermasalah di
instansi pemerintah. Pada lingkungan akademika maupun pendidikan, tidak jarang yang
menjadikan ijazah pustakawan sebagai komoditi akreditasi. Dan tentu tidaklah
cukup baterai laptop penulis bertahan jika harus menuliskan satu demi satu semua
kegalauan di perpustakaan.
Secara umum, penyebab kurangnya
pergerakan perpustakan di Indonesia disebabkan oleh beberapa kesalahan dalam
mengartikan keberhasilan. Pertama, perpustakaan menilai keberhasilan
perpustakaannya dapat dilihat dari indikator kuantitas pemustaka yang
berkunjung. Apabila kita hanya melihat sampai disini, tentu akan sangat mudah bagi
pustakawan untuk mengusahakannya. Cukup membuat pengumuman bertuliskan
penghargaan bagi pemustaka yang paling banyak berkunjung ke perpustakaan. Perpustakaan
Sekolah contohnya, dapat memberikan penghargaan kepada pemustaka (siswa,
karyawan, dan guru) pada waktu upacara. Penghargaan dapat disesuaikan dengan
keuangan perpustakaan, ingat!, penghargaan tidak harus berupa barang yang mewah.
Penghargaan pada intinya adalah mengakui keberadaan, usaha, status seseorang
kepada khalayak umum. Jadi monggo, kreatifitas pustakawanlah yang diperlukan
dalam hal ini.
Lain tempat lain pula uslubnya (cara), artinya dalam
meningkatkan kuantitas pemustaka yang berkunjung ke perpustakaan, masing-masing
perpustakaan akan berbeda penerimaannya. Pemberian penghargaan perpustakaan
sekolah kepada pemustakanya pada saat upacara bendera tentu tidak akan memberi
dampak yang sama jika diterapkan pada perpustakaan umum atau jenis perpustakaan
lainnya. Oleh karenanya, perpustakaan perlu melihat segmentasi pemustakanya.
Mengusahakan perpustakaan menjadi
rame adalah hal dasar yang wajib
diemban oleh pustakawan masa kini. Sungguh aspek tersebut mutlak dimiliki oleh seorang
pustakawan. Namun hal tersebut tidaklah cukup untuk menjadikan pustakawan
sebagai sebuah profesi. Seorang teller
bank, salles promotion, marketing tentu juga dibekali kemampuan
meramaikan instansi/perusahaan mereka. Jadi sangat mungkin jika mereka diberi
tugas di perpustakaan khusus untuk “menjual” dan meramaikan perpustakaan akan
membuat peran pustakawan tidaklah terlihat penting.
Sebagai profesi, pustakawan harus
memiliki suatu keahlian yang khas, keahlian yang hanya dapat dimiliki oleh
seorang pustakawan. Keahlian ini tentu saja bukan keahlian hanya sebatas
meramaikan perpustakaan saja, namun meramaikan dalam arti “ramai yang khas dengan
perpustakaan”. Nah, apakah ramai yang
khas dengan perpustakaan itu?. Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus paham
hakikat sebuah perpustakaan.
Salah satu fungsi perpustakaan
yang penting adalah perpustakaan sebagai media belajar seumur hidup. Media belajar
tanpa mengenal ruang dan waktu, media belajar untuk semua kalangan. Pemustaka yang
berkunjung, pada umumnya mereka belum mengetahui secara penuh isi dari
perpustakaan. Bagaikan pelayan restoran, pustakawan harus berperan menyediakan
daftar menu yang akan dipilih dan tentu akan dinikmati oleh pemustaka. Nah, disinilah peran vital pustakawan
dalam memberikan pengarahan dalam memilih menu yang sehat bagi pemustakanya. Ingat,
disini penulis tekankan bahwa pustakawan hendaknya tidak serta merta menjadi
pelayan sejati, menuruti semua kemauan pemustakanya, sebab pustakawan disini
adalah pelayan dalam arti patner atau fasilitator pemustaka dalam proses
belajar tadi. Artinya, pustakawan jangan cari muka saja “yang penting asal bos
senang” , pustakawan harus benar-benar mengawal proses belajar pemustakanya
menuju tujuan belajar yang akan dicapai.
Keberhasilan seorang pustakawan
merupakan keberhasilan perpustakaan itu sendiri. Keberhasilan perpustakaan akan
berarti kemenangan jika pustakawan berhasil menemani pemustakanya dalam
mencapai tujuan belajar. Pustakawan berhasil memfasilitasi minat belajar pemuda
lulusan SMA menjadi seorang ilmuan, memfasilitasi ibu rumah tangga dalam
mendidik anaknya berprestasi. Pustakawan berhasil memfasilitasi dokter bedah
dalam melancarkan proses operasi. Pada intinya keberhasilan perpustakaan akan
berarti kemenangan jika keberhasilan layanannya dapat memiliki peran besar
dalam lingkungannya.
Dari pengamatan yang mendalam,
kita menemukan bahwa ketika ukuran keberhasilan suatu perpustakaan hanya
melihat kuantitas pemustaka yang berkunjung, sudah dipastikan pergerakan
perpustakaan tersebut tidak akan memberikan dampak berarti pada progress perpustakaan.
Kesalahan kedua, yaitu perpustakaan
mengartikan keberhasilan secara pragmatis. Perpustakaan selalu terlarut,
perpustakaan selalu menuruti saja keadaan jaman, perpustakaan selalu menuruti
apa mau bos. Jika keadaannya demikian perpustakaan hanya sebatas tools, maju tidaknya perpustakaan tergantung
pada si pengendali tools tersebut. Maka
tidaklah heran, ketika penguasa mengalami penurunan kinerja, perpustakaan
menjadi lembaga yang tidak pernah absen mengikutinya, ketika kondisi masyarakat
rusak, tidaklah heran perpustakaan hanya menunggu giliran untuk rusak pula.
Dari fakta tersebut, kami melihat
perlu adanya re-idiologisasi sebuah
perpustakaan. Perpustakaan yang memiliki peran sebagai “agen of change” harus benar-benar ditunjukkan. Untuk mencapai hal
tersebut, perlu adanya kejelasan tujuan, yang tujuan tersebut juga akan
mengantarkan pada keberhasilan yang berarti kemenangan hakiki. Kemenangan yang
akan memberikan pengaruh signifikan terhadap kemajuan peradaban. Perpustakaan harus
memiliki pondasi idiologi yang kokoh, idiologi yang hakiki, idiologi yang
benar-benar memuaskan akal, perasaan, dan tidak bertentangan dengan fitrah
masyarakat.
Dengan kejelasan ini, diharapkan
peran perpustakaan di tengah kerusakan masyarakat akan tetap kokoh dan semakin
kuat peranannya sebagai “agen of change”.
[27/05/2012] yanu
judul sama, royalty deviden dipotong 2,5% dari pengarang asli. ha ha ha
ReplyDeleteki kanggo pengantar novelmu
ReplyDelete