selamat datang **** sugeng rawuh **** ahlan wa sahlan **** http://www.facebook.com/pustakawankaranganyar **** deche.ygo@gmail.com

Sunday, 27 May 2012

Galau di perpustakaan

Keberhasilan dan Kegagalan ibarat dua keping mata uang logam. Keberhasilan secara umum diartikan sebagai sebuah kemenangan, sedangkan kegagalan identik dengan sebuah kekalahan. Taukah kawan, terkadang keberhasilan itu tidak semua memiliki arti kemenangan dan begitu pula kegagalan juga dapat menjadi sebuah kemenangan.
Keberhasilan akan menjadi sebuah kegagalan tatkala ketika keberhasilan itu adalah keberhasilan semu yang berarti keberhasilan tersebut hanya nampak berhasil namun secara hakiki merupakan kekalahan. Kesalahan dalam memandang keberhasilan akan memberi dampak besar pula dalam kesalahan menafsirkan pencapaian. Kesalahan menafsirkan pencapaian juga akan menimbulkan ketidakjelasan pergerakan
. Nah, disini kami melihat bahwa perpustakaan di Indonesia juga harus menentukan standar ukuran keberhasilan yang hakiki, agar pergerakan yang selama ini diusahakan akan semakin kearah progress yang signifikan.
Penulis mengamati, kondisi perkembangan perpustakaan di Indonesia khususnya belum mengarah pada pergerakan yang massif. Perpustakaan sampai sekarang masih menjadi tempat “pembuangan” bagi pegawai-pegawai bermasalah di instansi pemerintah. Pada lingkungan akademika maupun pendidikan, tidak jarang yang menjadikan ijazah pustakawan sebagai komoditi akreditasi. Dan tentu tidaklah cukup baterai laptop penulis bertahan jika harus menuliskan satu demi satu semua kegalauan di perpustakaan.
Secara umum, penyebab kurangnya pergerakan perpustakan di Indonesia disebabkan oleh beberapa kesalahan dalam mengartikan keberhasilan. Pertama, perpustakaan menilai keberhasilan perpustakaannya dapat dilihat dari indikator kuantitas pemustaka yang berkunjung. Apabila kita hanya melihat sampai disini, tentu akan sangat mudah bagi pustakawan untuk mengusahakannya. Cukup membuat pengumuman bertuliskan penghargaan bagi pemustaka yang paling banyak berkunjung ke perpustakaan. Perpustakaan Sekolah contohnya, dapat memberikan penghargaan kepada pemustaka (siswa, karyawan, dan guru) pada waktu upacara. Penghargaan dapat disesuaikan dengan keuangan perpustakaan, ingat!, penghargaan tidak harus berupa barang yang mewah. Penghargaan pada intinya adalah mengakui keberadaan, usaha, status seseorang kepada khalayak umum.  Jadi monggo, kreatifitas pustakawanlah yang diperlukan dalam hal ini.
Lain tempat lain pula uslubnya (cara), artinya dalam meningkatkan kuantitas pemustaka yang berkunjung ke perpustakaan, masing-masing perpustakaan akan berbeda penerimaannya. Pemberian penghargaan perpustakaan sekolah kepada pemustakanya pada saat upacara bendera tentu tidak akan memberi dampak yang sama jika diterapkan pada perpustakaan umum atau jenis perpustakaan lainnya. Oleh karenanya, perpustakaan perlu melihat segmentasi pemustakanya.
Mengusahakan perpustakaan menjadi rame adalah hal dasar yang wajib diemban oleh pustakawan masa kini. Sungguh aspek tersebut mutlak dimiliki oleh seorang pustakawan. Namun hal tersebut tidaklah cukup untuk menjadikan pustakawan sebagai sebuah profesi. Seorang teller bank, salles promotion, marketing tentu juga dibekali kemampuan meramaikan instansi/perusahaan mereka. Jadi sangat mungkin jika mereka diberi tugas di perpustakaan khusus untuk “menjual” dan meramaikan perpustakaan akan membuat peran pustakawan tidaklah terlihat penting.
Sebagai profesi, pustakawan harus memiliki suatu keahlian yang khas, keahlian yang hanya dapat dimiliki oleh seorang pustakawan. Keahlian ini tentu saja bukan keahlian hanya sebatas meramaikan perpustakaan saja, namun meramaikan dalam arti “ramai yang khas dengan perpustakaan”. Nah, apakah ramai yang khas dengan perpustakaan itu?. Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus paham hakikat sebuah perpustakaan.
Salah satu fungsi perpustakaan yang penting adalah perpustakaan sebagai media belajar seumur hidup. Media belajar tanpa mengenal ruang dan waktu, media belajar untuk semua kalangan. Pemustaka yang berkunjung, pada umumnya mereka belum mengetahui secara penuh isi dari perpustakaan. Bagaikan pelayan restoran, pustakawan harus berperan menyediakan daftar menu yang akan dipilih dan tentu akan dinikmati oleh pemustaka. Nah, disinilah peran vital pustakawan dalam memberikan pengarahan dalam memilih menu yang sehat bagi pemustakanya. Ingat, disini penulis tekankan bahwa pustakawan hendaknya tidak serta merta menjadi pelayan sejati, menuruti semua kemauan pemustakanya, sebab pustakawan disini adalah pelayan dalam arti patner atau fasilitator pemustaka dalam proses belajar tadi. Artinya, pustakawan jangan cari muka saja “yang penting asal bos senang” , pustakawan harus benar-benar mengawal proses belajar pemustakanya menuju tujuan belajar yang akan dicapai.
Keberhasilan seorang pustakawan merupakan keberhasilan perpustakaan itu sendiri. Keberhasilan perpustakaan akan berarti kemenangan jika pustakawan berhasil menemani pemustakanya dalam mencapai tujuan belajar. Pustakawan berhasil memfasilitasi minat belajar pemuda lulusan SMA menjadi seorang ilmuan, memfasilitasi ibu rumah tangga dalam mendidik anaknya berprestasi. Pustakawan berhasil memfasilitasi dokter bedah dalam melancarkan proses operasi. Pada intinya keberhasilan perpustakaan akan berarti kemenangan jika keberhasilan layanannya dapat memiliki peran besar dalam lingkungannya.
Dari pengamatan yang mendalam, kita menemukan bahwa ketika ukuran keberhasilan suatu perpustakaan hanya melihat kuantitas pemustaka yang berkunjung, sudah dipastikan pergerakan perpustakaan tersebut tidak akan memberikan dampak berarti pada progress perpustakaan.
Kesalahan kedua, yaitu perpustakaan mengartikan keberhasilan secara pragmatis. Perpustakaan selalu terlarut, perpustakaan selalu menuruti saja keadaan jaman, perpustakaan selalu menuruti apa mau bos. Jika keadaannya demikian perpustakaan hanya sebatas tools, maju tidaknya perpustakaan tergantung pada si pengendali tools tersebut. Maka tidaklah heran, ketika penguasa mengalami penurunan kinerja, perpustakaan menjadi lembaga yang tidak pernah absen mengikutinya, ketika kondisi masyarakat rusak, tidaklah heran perpustakaan hanya menunggu giliran untuk rusak pula.
Dari fakta tersebut, kami melihat perlu adanya re-idiologisasi sebuah perpustakaan. Perpustakaan yang memiliki peran sebagai “agen of change” harus benar-benar ditunjukkan. Untuk mencapai hal tersebut, perlu adanya kejelasan tujuan, yang tujuan tersebut juga akan mengantarkan pada keberhasilan yang berarti kemenangan hakiki. Kemenangan yang akan memberikan pengaruh signifikan terhadap kemajuan peradaban. Perpustakaan harus memiliki pondasi idiologi yang kokoh, idiologi yang hakiki, idiologi yang benar-benar memuaskan akal, perasaan, dan tidak bertentangan dengan fitrah masyarakat.
Dengan kejelasan ini, diharapkan peran perpustakaan di tengah kerusakan masyarakat akan tetap kokoh dan semakin kuat peranannya sebagai “agen of change”.
[27/05/2012] yanu

2 comments:

  1. judul sama, royalty deviden dipotong 2,5% dari pengarang asli. ha ha ha

    ReplyDelete

Masukan dan Nasihat dari Sobat Pustaka adalah apresiasi untuk kami.