Di
era teknologi informasi yang sangat pesat seperti sekarang di mana
informasi kini bukan lagi hanya sebuah kebutuhan tetapi sudah menjelma
menjadi sumber kekuatan baru, seharusnya menjadi momen bagi
perpustakaan-perpustakaan di Indonesia untuk membangkitkan the power of library networking-nya. Perpustakaan menjadi kiblat sumber informasi, sumber segala informasi bagi semua orang.
Dengan kondisi umum seperti digambarkan dalam fish-bone di atas, tidaklah mengherankan jika jumlah jumlah pengunjung perpustakaan relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Jumlahnya dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan yang berarti. Berikut data statistik jumlah pengunjung perpustakaan dari tahun 2005-2007 yang justru mengalami penurunan pada tahun 2007.
Di banyak negara maju
seperti Inggris, Amerika Serikat, Jerman, Perancis, juga di
negara-negara Asia seperti Filipina, India, Malaysia, Singapura dan
Thailand, the power of library networking telah lama muncul dan berkembang. Ini karena kesadaran masyarakatnya akan pentingnya informasi. The new source of power is not money in the hand o few, but information in the hand of many. Menguasai informasi berarti mempunyai kekuatan yang lebih baik dalam menguasai dunia (information is a power).
Dalam konteks ini, keberadaan jaringan perpustakaan berbasis teknologi
informasi atau digital yang mampu memberikan informasi dengan sangat
cepat dan akurat menjadi sebuah kebutuhan yang tak terelakkan. Bagaimana
dengan Indonesia?
Itikad untuk membangun sebuah jaringan perpustakaan digital atau yang lebih dikenal dengan DLN (Digital Library Networking),
telah dirintis sejak tahun 2000 lalu oleh sejumlah pustakawan bersama
saintis teknologi informasi dan secara resmi dimulai pada 6-7 Juni 2001.
Dengan nama IDLN atau Indonesia Digital Library Networking, jaringan ini merupakan sebuah mother of digital library networks
in Indonesia yang bertujuan untuk membangun sebuah komunitas berbagi
ilmu pengetahuan di Indonesia yang membuka keterlibatan semua pihak
secara luas dan terbuka. Menurut Ismail Fahmi dari Knowledge Management Research Group
ITB , inisiatif memunculkan jaringan perpustakaan digital
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain : publikasi oleh
bangsa Indonesia di level internasional kurang; information divide
antar pulau di Indonesia; informasi online lebih termanfaatkan;
perpustakaan digital dapat digunakan untuk membangun jaringan
pengetahuan; dan kebutuhan untuk berbagi pengetahuan di dalam dan di
antara berbagai komunitas.
Adapun tujuannya antara lain : mengembangkan software Open-Source (GDL, Ganesha Digital Library) berbasis technology tepat guna; membangun jaringan dan komunitas Knowledge Sharing di Indonesia; sosialisasi, promosi, dan support terhadap komunitas; serta mendukung pemanfaatan pengetahuan untuk bangsa Indonesia.
Adapun tujuannya antara lain : mengembangkan software Open-Source (GDL, Ganesha Digital Library) berbasis technology tepat guna; membangun jaringan dan komunitas Knowledge Sharing di Indonesia; sosialisasi, promosi, dan support terhadap komunitas; serta mendukung pemanfaatan pengetahuan untuk bangsa Indonesia.
Terbentuknya IDLN
ini mendapat apreasiasi positif dari banyak kalangan khususnya perguruan
tinggi, instansi dan komunitas yang tengah gencar mendigitasi
perpustakaannya dan ingin tergabung dalam IDLN. Bagi mereka yang
memiliki kecukupan dana dan sumber daya manusia yang memadai, hal
tersebut tentu tidak terlalu sulit meski tetap saja tidak dapat
dilakukan secara instant dan sembarangan hanya untuk mengikuti trend
semata. Bagaimanapun, inovasi dalam bidang perpustakaan ini merupakan
sebuah terobosan yang sangat menggembirakan. Sayangnya, perpustakaan
semacam ini jumlahnya masih sangat sedikit dan harus diakui, karena
berbagai factor, sementara hanya bisa dimiliki dan dinikmati oleh
kalangan terbatas. Sekelompok besar perpustakaan dan masyarakat yang
masih awam dan belum siap, akan semakin tertinggal jika tidak dicarikan
solusi alternative yang membantu mereka mengimbangi pesatnya laju
perkembangan teknologi informasi di era digital ini.
Analisa Masalah Perpustakaan di Indonesia dan Dampaknya
Analisa Masalah Perpustakaan di Indonesia dan Dampaknya
Kita semua pasti ingin
berlari sama kencang dengan negara lain dalam hal mengimbangi
perkembangan perpustakaan berbasis teknologi informasi. Namun, tidak
semua elemen dan komponen perpustakaan dan masyarakat kita mampu
melakukannya. Ada banyak faktor dan kendala yang menghambat.
Secara umum, realitas
perpustakaan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Sebelum membahas
perpustakaan digital maupun perpustakaan yang sedang bertransformasi ke
arah sana, kita analisa terlebih dahulu bagaimana realita perpustakaan
secara umum di negara kita. Secara kuantitas saja, jumlah perpustakaan
di Indonesia masih amat kurang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk
yang jumlahnya kini sekitar 225 juta jiwa. Menurut Alfons Taryadi dalam
bukunya Buku dalam Indonesia Baru , hanya terdapat satu perpustakaan
nasional, 117.000 perpustakaan sekolah dengan total koleksi 106 juta
buku, 798 perpustakaan khusus; sedangkan, perpustakaan yang disediakan
untuk masyarakat umum hanya 2.583 perpustakaan. Ketersediaan buku-buku
di Indonesia juga sangat terbatas. Cina dengan penduduk 1,3 miliar jiwa
mampu menerbitkan 140.000 judul buku baru setiap tahunnya. Vietnam
dengan 80 juta jiwa menerbitkan 15.000 judul buku baru per tahun,
Malaysia berpenduduk 26 juta jiwa menerbitkan 10.000 judul, sedangkan
Indonesia dengan penduduk sekitar 225 juta jiwa hanya mampu menerbitkan
10.000 judul pertahun.
Kondisi di atas berdampak
buruk terhadap kondisi dan budaya baca anak-anak Indonesia yang
tergolong rendah. Menurut data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik
(BPS) pada 2003, penduduk Indonesia berumur di atas 15 tahun yang
membaca koran hanya 55,11 persen. Sedangkan yang membaca majalah atau
tabloid hanya 29,22 persen, buku cerita 16,72 persen, buku pelajaran
sekolah 44.28 %, dan yang membaca buku ilmu pengetahuan lainnya hanya
21,07 persen. Data BPS lainnya juga menunjukkan bahwa penduduk Indonesia
belum menjadikan membaca sebagai informasi. Orang lebih memilih
televisi dan mendengarkan radio. Bahkan, kecenderungan cara mendapatkan
informasi lewat membaca stagnan sejak 1993, hanya naik sekitar 0,2
persen. Jauh jika dibandingkan dengan menonton televisi yang kenaikan
persentasenya mencapai 211,1 persen. Sementara data tahun 2006
menunjukkan bahwa orang Indonesia yang membaca untuk mendapatkan
informasi baru 23,5 persen dari total penduduk. Sedangkan, dengan
menonton televisi sebanyak 85,9 persen dan mendengarkan radio sebesar
40,3 persen.
Data statistic internasional juga tak kalah memprihatinkan. Pada tahun 1992, Internasional Associations for Evaluation of Educational
(IEA) melakukan studi kemampuan membaca murid-murid sekolah dasar kelas
IV di 30 negara dunia. Kesimpulan dari studi tersebut menyebutkan bahwa
indonesia menempati urutan ke-29, hanya setingkat di atas Venezuella.
Sedangkan World Bank dalam sebuah laporan pendidikan Education In Indonesia From Crisis to Recovery
menyebutkan bahwa kemampuan membaca anak-anak kelas IV sekolah dasar di
Indonesia masih di bawah negara Asia lainnya. Laporan tersebut mengutip
hasil Vincent Greannary pada 1998 yang menunjukkan Indonesia
hanya mampu meraih nilai 51,7. Sedangkan negara Asia lainnya yang juga
menjadi objek nilai, seperti Filipina memperoleh nilai 52,6, Thailand
65,1, Singapura 74,0 dan Hong Kong 75,5. Buruknya kemampuan anak-anak
Indonesia berdampak pada penguasaan bidang ilmu pengetahuan dan
matematika. Hasil tes yang dilakukan Trends in Science Study (TIMSS)
2003 terhadap para siswa kelas II SLTP 50 negara di dunia, menunjukkan
prestasi siswa-siswa Indonesia berada di peringkat ke-36 dengan nilai
rata-rata Internasional 474.
Dari data-data statistik
di atas, terlihat bahwa peran dan fungsi perpustakaan sebagai pusat
pengembangan minat baca, belum optimal. Padahal, sebagai gudang
informasi, perpustakaan adalah sarana untuk mendongkrak kualitas sumber
daya manusia. Tidak mengherankan jika kualitas sumber daya manusia
Indonesia juga tertinggal dibandingkan negara-negara lain. Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menurut Human Development Report
UNDP tahun 2006 menempati peringkat ke-108. Peringkat ini sangat jauh
jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Singapura
(25), Brunei Darusallam (34), Malaysia (61), Thailand (74) dan Filipina
(84). Kita hanya setingkat di atas Vietnam (109), dan tidak jauh berpaut
dengan Kamboja (129), Myanmar (130), Laos (133) dan Timor Leste (142).
Realitas dan prestasi
menyedihkan di atas memang disebabkan oleh banyak factor, Dan kuantitas
serta kualitas perpustakaan adalah satu di antaranya yang hingga kini
belum mendapat prioritas penanganan. Sebagian besar perpustakaan kita
masih bergelut dengan masalah klasik yang hingga kini juga belum
terpecahkan. Dua yang utama di antaranya adalah keterbatasan anggaran
dan sumber daya manusia. Anggaran untuk perpustakaan masih sangat minim
bahkan tak jarang terlupakan. Paling besar dan ini sangat langka, tidak
lebih dari 2,5%. Masih jauh dari ketentuan 5% menurut UU perpustakaan.
Minimnya anggaran menyebabkan perpustakaan kesulitan memenuhi kebutuhan
informasi masyarakat yang semakin komplek. Terlebih di era teknologi
informasi seperti sekarang. Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan
bahwa tanpa adanya sentuhan teknologi informasi, perpustakaan dianggap
sebagai sebuah institusi yang ketinggalan jaman, kuno dan tidak
berkembang. Teknologi informasi di perpustakaan sering menjadi tolak
ukur kemajuan dan modernisasi dari sebuah perpustakaan.
Kondisi SDM atau
pustakawan baik dari segi kuantitas maupun kualitas juga tak kalah
memprihatinkan. Menurut Hernandono berdasarkan data Pustakawan
Indonesia yang dikumpulkan Pusat Pengembangan Pustakawan, Perpustakaan
Nasional RI hingga akhir tahun 2005, dapat dilihat "Peta Pustakawan"
sebagai berikut:
Sedangkan dilihat dari
sisi pendidikannya, kondisi Pustakawan Indonesia juga tidak jauh berbeda
sebagaimana terlihat pada data berikut :
Keterbatasan anggaran dan
SDM yang berdampak pada fasilitas dan layanan perpustakaan sedikit
banyak mempengaruhi minat masyarakat untuk berkunjung ke perpustakaan.
Pun pada perpustakaan di berbagai perguruan tinggi yang notabene menjadi
tulang punggung informasi dan pengetahuan bagi civitas akademika
lembaga yang bersangkutan. Menurut Arip Muttaqien dalam Membangun
Perpustakaan Berbasis Konsep Knowledge Management : Transformasi Menuju Research College dan Perguruan Tinggi Berkualitas Internasional,
permasalahan umum yang terjadi pada perpustakaan antara lain :
terbatasnya sumber pustaka, waktu yang lama dalam melakukan pencarian,
sistem palayanan kurang memuaskan dan fasilitas yang kurang mendukung,
sebagaimana dideskripsikan pada gambar berikut :
Dengan kondisi umum seperti digambarkan dalam fish-bone di atas, tidaklah mengherankan jika jumlah jumlah pengunjung perpustakaan relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Jumlahnya dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan yang berarti. Berikut data statistik jumlah pengunjung perpustakaan dari tahun 2005-2007 yang justru mengalami penurunan pada tahun 2007.
Berbagai kondisi di
atas mengharuskan kita semua untuk bersama-sama mencari solusi terbaik
bagi dunia perpustakaan kita. Terlebih di era globalisasi dan teknologi
seperti sekarang di mana keberadaan sumber informasi yang berkualitas
akan menentukan kualitas dan daya saing bangsa. Adalah hak setiap warga
negara, tak terbatas wilayah geografis, status sosial, ekonomi, gender
dan sebagainya, untuk memperoleh kemudahan mengakses ilmu pengetahuan
dan informasi.
Membangkitkan The Power of Library Networking
Membangkitkan The Power of Library Networking
Di negara-negara maju dan
berkembang yang memiliki perhatian serius terhadap perpustakaan dengan
sarana pendukung yang sangat lengkap dan modern khususnya dalam bidang
teknologi informasi, keberadaan jaringan perpustakaan digital atau Digital Library Networking (DLN),
telah menempatkan perpustakaan pada eksistensi dan kontribusi
sebagaimana mestinya. Perpustakaan dalam konteks kekinian di mana dunia
menjadi tanpa batas, dimaknai sebagai sebuah 'jaringan' yang berdiri
bersama-sama, tidak sendiri-sendiri.
Sesuai dengan namanya,
jaringan perpustakaan digital terdiri dari kumpulan
perpustakaan-perpustakaan digital yang tergabung dalam sebuah jaringan
yang di Indonesia dinamakan Indonesia Digital Library Networking
(ILDN). Ini artinya, perpustakaan yang tergabung dengan IDLN adalah
perpustakaan yang sudah benar-benar terdigitalisasi dalam arti
sebenarnya. Pengertian perpustakaan digital sendiri secara sederhana
ditekankan pada adanya koleksi digital dan perpustakaan tersebut dapat
diakses selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu baik di dalam
perpustakaan maupun jarak jauh tanpa harus datang ke perpustakaan secara
fisik.
Pengembangan sebuah
perpustakaan dari bentuk konvensional ke bentuk digitalisasi koleksi
perpustakaan memerlukan biaya yang tidak sedikit karena untuk
mendigitalisasi sebuah dokumen dari bentuk cetak ke bentuk digital
diperlukan beberapa tahap.
Pertama, proses scanning, yaitu merubah dari bentuk cetak ke dalam bentuk digital.
Kedua adalah proses
editing, yaitu mengedit data yang telah diubah dalam bentuk digital
untuk kemudian siap disajikan kepada para pengguna.
Di dalam proses editing
ini juga diberikan keamanan sehingga tidak dapat dirubah oleh pengguna,
seperti contoh pada koleksi skripsi, thesis dan disertasi yang perlu
diberikan keamanan agar copyright tetap ada pada si penulis (pembuat).
Selanjutnya koleksi digital tersebut memerlukan komputer yang mempunyai
performa yang cukup tinggi sebagai sarana untuk menyimpan serta melayani
pengguna dalam mengakses koleksi digital.
Bagi pengguna sendiri (user atau visitor),
meski tak lagi dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu, informasi dari
perpustakaan digital hanya dapat diakses melalui seperangkat computer
yang memiliki jaringan internet. Efisiensi memperoleh data yang akurat
dan cepat harus dibayar dengan cost yang tidak sedikit
mengingat biaya akses internet di Indonesia relative masih mahal
sedangkan sarana akses gratis masih sangat terbatas. Di sisi lain, akses
informasi secara digital juga membutuhkan penguasaan terhadap teknologi
di mana tidak semua kelompok masyarakat atau pengguna perpustakaan
mampu melakukannya. Ini merupakan salah satu kelebihan sekaligus
kekurangan dari perpustakaan digital baik dilihat dari aspek ekonomi
maupun penguasaan terhadap teknologi.
Secara umum, implementasi
DLN dengan segala kelebihan dan kekurangannya bukan hal yang mudah
namun bukan tidak mungkin untuk direalisasikan di Indonesia.
Keterbatasan anggaran dan SDM masih tetap menjadi bagian dari kendala
utama. Meski demikian, Indonesia juga memiliki potensi yang cukup besar
untuk mengembangkan DLN sekaligus mencuatkan The Power of Library Networking. Salah satu potensi besar tersebut adalah perkembangan pengguna dan ketersediaan internet yang terus berkembang pesat.
Berdasarkan survey yang
dilakukan APJII sampai dengan akhir 2007, menunjukkan angka 25.000.000
pengguna internet di Indonesia. Jumlah ini memang tidak sebanding dengan
jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari dua ratus juta jiwa.
Tetapi setidaknya menurut APJII, pada tahun 1998 jumlah pengguna
internet Indonesia hanya 512.000 dan sampai akhir 2007 sudah mencapai
25.000.000. Ini artinya, selama 9 tahun jumlah pertumbuhannya hampir 50
kali lipat. Jika dihitung rata-rata pertumbuhan pertahun meningkat
sekitar 5,5 kali lipat. Selain itu, frekuensi akses internet setiap hari
dalam seminggu juga memiliki presentase yang cukup besar yakni sebanyak
60,26%; 5-6 kali 21,19%; 3-4 kali 5,3%; 1-2 kali 2,65% dan tak tentu
10,6% . Sedangkan kegiatan membaca dan menulis email serta mengikuti
mailing list merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan oleh
pengguna internet yakni sebanyak 49,01%; chatting16,56%; berpartisipasi
dalam forum tertentu 13,91%; browsing situs penyedia informasi 06,62%;
searching dengan mesin pencari 05,03%; aktifitas blog 06,62% dan
mengelola server/jaringan 01,99% .
Dari berbagai data
statistik pengguna internet di atas, nampaknya aspek kultur atau budaya
juga perlu mendapat perhatian. Persentase pengguna internet yang
melakukan aktivitas browsing situs penyedia informasi relatif kecil.
Hampir bertaut 10% lebih sedikit dari aktivitas chatting. Ini bisa
menjadi indikasi bahwa kesadaran dan persepsi masyarakat Indonesia akan
pentingnya informasi masih rendah sebagaimana juga budaya membaca dan
mengunjungi perpustakaan sebagai sebagai salah satu sentra informasi.
Untuk membangkitkan the power of library networking, jelas ini merupakan tantangan yang tak kalah berat dengan masalah anggaran dan SDM.
Peningkatan jumlah
pengguna internet yang cukup drastis (hampir 50 kali lipat dalam 9
tahun), juga bisa menjadi indikasi bahwa proses penguasaan teknologi
informasi di Indonesia khususnya internet, relatif berlangsung mudah dan
cepat. Teknologi informasi (TI) sendiri sebenarnya bukan barang baru
bagi kalangan perpustakaan di Indonesia. Sejak paruh akhir 1980-an,
kalangan perpustakaan di Indonesia sudah mengimplementasikan TI.
Awalnya, pemanfaatan TI lebih banyak digunakan untuk kebutuhan otomasi
sistem perpustakaan (library automation system). Biasanya unit di
perpustakaan yang pertama kali menggunakan TI adalah unit pengolahan
atau pengatalogan. Ada yang kemudian membuat online public access catalogue
(OPAC). Jika perpustakaan yang bersangkutan memiliki cukup dana dan
SDM, mereka juga mengimplementasikan TI di unit sirkulasi (peminjaman
dan pengembalian koleksi). Saat ini rata-rata perpustakaan baik yang
kecil maupun besar, sudah mengimplementasikan TI untuk kebutuhan otomasi
perpustakaan. Minimal untuk pengatalogan, sirkulasi, dan manajemen
pemakai. Ada juga yang sudah memanfaatkan sampai unit pengadaan,
inventarisasi dan penyiangan koleksi.
Peluang bagi terwujudnya digital library networking
semakin jelas dan terbuka lebar. Selanjutnya bergantung pada bagaimana
perpustakaan dan pihak-pihak terkait dapat mengoptimalkan potensi
sekaligus mengatasi kendala yang ada melalui berbagai langkah strategis
guna membangkitkan the power of library networking di Indonesia.
Hybrid Library Sekaligus Telecenter : Sebuah Alternatif
Melihat berbagai realitas
yang ada di Indonesia baik dari sisi perpustakaan dan sarana
pendukungnya, juga kondisi sosial, ekonomi, teknologi dan budaya
masyarakat, nampaknya upaya untuk membangun digital library networking
harus melalui proses yang panjang dan dilakukan secara bertahap. Salah
satu solusi alternatif yang sangat mungkin untuk diterapkan adalah
perpustakaan hybrid (hybrid library) yang sekaligus memiliki
peran dan fungsi ganda sebagai telecenter. Solusi alternatif ini sangat
tepat untuk diterapkan pada sebagian besar perpustakaan di Indonesia
yang pada umumnya masih bersifat konvensional khususnya perpustakaan
yang jauh dari core dengan masalah keterbatasan yang lebih
kompleks baik dari segi anggaran dan SDM perpustakaan hingga penguasaan
teknologi dan kultur masyarakat pengguna di sekitarnya.
Perpustakaan hybrid
merupakan bentuk peralihan dari perpustakaan tradisional menuju
perpustakaan digital/virtual. Bentuk ini menurut banyak kalangan, tepat
dan kontekstual serta masih sangat mungkin diterapkan di Indonesia dalam
beberapa dasawarsa ke depan. Pada umumnya perpustakaan-perpustakaan di
dunia juga tidak berubah seratus persen menjadi perpustakaan digital.
Secara singkat, berikut berbagai macam bentuk perpustakaan berdasarkan
karakater dan perkembangannya terkait dengan penggunaan teknologi dan
informasi dewasa ini :
- Perpustakaan Digital: Sepenuhnya dalam format digital
- Perpustakaan Hybrid: Koleksi cetak tetap ada, ditambah digital
- Perpustakaan Konvensional Terautomasi: Koleksi cetak dgn layanan terautomasi
- Perpustakaan Konvensional: koleksi cetak dgn layanan manual
- Perpustakaan Digital: Sepenuhnya dalam format digital
- Perpustakaan Hybrid: Koleksi cetak tetap ada, ditambah digital
- Perpustakaan Konvensional Terautomasi: Koleksi cetak dgn layanan terautomasi
- Perpustakaan Konvensional: koleksi cetak dgn layanan manual
Berdasarkan klasifikasi
di atas, realitas perpustakaan di Indonesia dapat digambarkan seperti
piramida, di mana perpustakaan konvensional, baik konvensional murni
maupun konvensional terautomasi, menempati porsi terbesar. Kondisi
inilah yang menjadi salah satu pertimbangan (selain faktor biaya, SDM,
penguasaan teknologi, kultur dsb) perlunya perpustakaan hybrid sebagai
batu loncatan yang ideal dan kontekstual bagi perpustakaan-perpustakaan
di Indonesia menuju era digital library networking dengan menjadikan perpustakaan digital yang telah ada sebagai percontohan (pilot project).
Di mana dalam proses bertransformasi dari perpustakaan konvensional
menjadi perpustakaan hybrid, perpustakaan-perpustakaan tersebut tetap
membeli bahan pustaka dalam bentuk tercetak, mendijitalkan koleksi yang
ada (menambah unit scanning), meminta sivitas akademika menyerahkan
koleksi dalam bentuk digital (CD), melanggan database komersial secara
online, menambah layanan online delivery (layanan full-text articles) dan tetap memiliki perpustakaan yang luas untuk pelayanan perpustakaan.
Perubahan dari
perpustakaan konvensional ke perpustakaan hybrid tidak cukup hanya
dengan menambah koleksi cetaknya dengan koleksi digital. Seiring dengan
perubahan koleksi dan bentuk layanannya, harus dibarengi pula dengan
perubahan paradigma dan citra diri (brand image) dari perpustakaan dan para pustakawannya sendiri. Antara lain, dari perpustakaan identik dengan buku menjadi perpustakaan identik dengan informasi; dari pustakawan sebagai pelayan informasi menjadi pustakawan sebagai transporder dan provider informasi. Tahapan selanjutnya adalah menuju perpustakaan yang people based service dan service excellence mengikuti perkembangan kebutuhan pengguna .
Sejalan dengan perubahan paradigma dan citra diri di atas dalam rangka menjadi hybrid library yang
berkualitas, terdapat beberapa langkah penting yang harus dilakukan
oleh perpustakaan dan pihak terkait dengan memperhatikan faktor-faktor
yang mempengaruhi baik dari dalam perpustakaan (faktor internal) maupun
dari luar perpustakaan (faktor eksternal).
Beberapa persoalan
internal yang harus mendapat perhatian serius adalah masalah anggaran
dan SDM. Masalah anggaran merupakan masalah yang sangat vital yang
menentukan maju tidak perkembangan bahkan keberlangsungan hidup
perpustakaan. Sulit rasanya bagi perpustakaan untuk berkembang mengikuti
perkembangan teknologi informasi jika dua faktor ini tidak terpenuhi
dengan baik.
Keterbatasan anggaran
idealnya berasal dari pemerintah dan atau lembaga yang menaungi seperti
misalnya perguruan tinggi bagi perpustakaan di lingkungan perguruan
tinggi yang bersangkutan. Kalaupun cara ini masih kurang mengakselerasi
perkembangan perpustakaan, maka harus dicarikan terobosan pembiayaan
lain. Misalnya dengan melakukan kerja sama atau menggalang dana dari
masyarakat dan atau lembaga terkait yang memiliki perhatian terhadap
dunia perpustakaan baik dari dalam maupun luar negeri. Sedangkan untuk
masalah SDM, sudah saatnya perpustakaan menggunakan prinsip the right man on the right place.
Perpustakaan harus diisi dan dijalankan oleh orang-orang yang memang
profesional di bidang ini. Salah satu indikator dari keprofesionalan
tersebut adalah kesesuaian latar belakang pendidikan dengan kualifikasi
yang riil dibutuhkan oleh perpustakaan. Dalam hal ini pengembangan
serius terhadap jurusan ilmu perpustakaan di berbagai perguruan tinggi
di Indonesia harus semakin ditingkatkan .
Persoalan internal lain
yang juga tak kalah penting adalah sistem pengelolaan perpustakaan itu
sendiri. Konsep ini tengah marak digalakkan oleh banyak perpustakaan di
Indonesia yang dikenal dengan knowledge management (KM).
Menurut konsep KM, perkembangan perpustakaan tidak lagi hanya berfokus
pada pengembangan koleksi dan layanan, tetapi juga pada pengembangan
informasi atau bahkan knowledge sesuai dengan fungsi
perpustakaan sebagai media untuk melakukan transfer informasi dan
pengetahuan. Sarana teknologi informasi dalam konsep KM memegang peranan
yang sangat penting yakni sebagai alat (tool) untuk mentransfer pengetahuan dan informasi. Tujuan utama KM adalah transfer pengetahuan guna mencapai keunggulan daya saing (competitive advantage). KM dapat dijadikan sebagai pemicu agar pustakawan lebih inovatif dan kreatif dalam mengembangkan konsep perpustakaan.
Menurut Arip Muttaqien
(2006) merujuk pada pendapat Finerty (1997), terdapat beberapa faktor
atau kata kunci dalam rangka mengimplementasikan konsep KM ke dalam
sistem perpustakaan. Yakni :
1. Creation
Sebagai media untuk melakukan transfer pengetahuan, perpustakaan tidak menciptakan pengetahuan. Namun perpustakaan memiliki andil dalam proses pemicu berkembangnya pengetahuan. Dengan adanya perpustakaan, pengetahuan dari pengguna perpustakaan akan bertambah. Hal ini akan mendukung proses pengembangan pengetahuan. Sehingga bila dihubungkan dengan konsep creation, perpustakaan harus mampu menjadi pemicu (trigger) bagi perkembangan pengetahuan para penggunanya.
Sebagai media untuk melakukan transfer pengetahuan, perpustakaan tidak menciptakan pengetahuan. Namun perpustakaan memiliki andil dalam proses pemicu berkembangnya pengetahuan. Dengan adanya perpustakaan, pengetahuan dari pengguna perpustakaan akan bertambah. Hal ini akan mendukung proses pengembangan pengetahuan. Sehingga bila dihubungkan dengan konsep creation, perpustakaan harus mampu menjadi pemicu (trigger) bagi perkembangan pengetahuan para penggunanya.
2. UtilizationKonsep utilization berhubungan
dengan utilisasi dari sistem itu sendiri. Dalam hal ini, utilisasi
sistem perpustakaan adalah bagaimana tingkat utilitas atau pemakaian
dari perpustakaan. Seberapa tinggi tingkat utilitasnya, tergantung pada
seberapa sering pengguna (user) memanfaatkan fasilitas
perpustakaan. Karenanya, perpustakaan harus dirancang sedemikian rupa
untuk dapat memenuhi kebutuhan penggunanya. Misalnya, dengan koleksi
buku-buku yang lengkap.
3. Storing
Konsep storing adalah salah satu proses transfer pengetahuan. Dalam hal ini perpustakaan harus mampu menyediakan pelayanan yang memuaskan bagi pengunjung, seperti prosedur yang tidak rumit untuk pembuatan kartu anggota dan peminjaman, pelayanan yang cepat, keramahan dari petugas perpustakaan serta didukung oleh fasilitas yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pengunjung.
Konsep storing adalah salah satu proses transfer pengetahuan. Dalam hal ini perpustakaan harus mampu menyediakan pelayanan yang memuaskan bagi pengunjung, seperti prosedur yang tidak rumit untuk pembuatan kartu anggota dan peminjaman, pelayanan yang cepat, keramahan dari petugas perpustakaan serta didukung oleh fasilitas yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pengunjung.
4. Acquisition
Acquisition berarti kemahiran. Dalam hal ini, transfer pengetahuan yang diberikan oleh perpustakaan harus mampu memberikan nilai tambah bagi pengunjungnya. Kemahiran dalam hal ini adalah tingkat pemahaman tentang suatu bidang ilmu yang makin bertambah, bertambahnya ketrampilan terutama dalam hal membaca dan menulis.
Acquisition berarti kemahiran. Dalam hal ini, transfer pengetahuan yang diberikan oleh perpustakaan harus mampu memberikan nilai tambah bagi pengunjungnya. Kemahiran dalam hal ini adalah tingkat pemahaman tentang suatu bidang ilmu yang makin bertambah, bertambahnya ketrampilan terutama dalam hal membaca dan menulis.
5. Distribution/Sharing
Berdasarkan konsep ini, perpustakaan harus mampu berfungsi sebagai transfer pengetahuan. Artinya, bagaimana mentransfer pengetahuan yang ada dalam buku-buku ke dalam pemikiran penggunanya. Perpustakaan harus mampu memberikan kondisi dimana proses transfer pengetahuan dapat berjalan dengan sempurna.
Berdasarkan konsep ini, perpustakaan harus mampu berfungsi sebagai transfer pengetahuan. Artinya, bagaimana mentransfer pengetahuan yang ada dalam buku-buku ke dalam pemikiran penggunanya. Perpustakaan harus mampu memberikan kondisi dimana proses transfer pengetahuan dapat berjalan dengan sempurna.
6. Structure
Konsep struktur mengarah tentang bagaimana struktur transfer pengetahuan. Perpustakaan harus mampu mendesain struktur yang benar-benar mendukung tujuan utama, yaitu transfer pengetahuan. Karenanya, perpustakaan harus dirancang sedemikian rupa agar business prosess tidak terlalu panjang dan tidak menghabiskan banyak waktu.
Konsep struktur mengarah tentang bagaimana struktur transfer pengetahuan. Perpustakaan harus mampu mendesain struktur yang benar-benar mendukung tujuan utama, yaitu transfer pengetahuan. Karenanya, perpustakaan harus dirancang sedemikian rupa agar business prosess tidak terlalu panjang dan tidak menghabiskan banyak waktu.
7. Technology
Teknologi adalah suatu alat (tool) yang digunakan dalam mengembangkan sistem perpustakaan. Perkembangan teknologi informasi akan memberikan kemudahan kepada pengguna perpustakaan dan sistem pelayanannya. Perpustakaan harus menggunakan keunggulan teknologi informasi jika tidak ingin tertinggal. Beberapa bagian penting dari teknologi informasi yang diperlukan meliputi perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan jaringan (network). Perangkat keras yang diperlukan dalam sistem perpustakaan antara lain, CPU, storage, media penghubung, kabel dan lain-lain. Perangkat lunak yang diperlukan adalah program untuk sistem perpustakaan. Namun tanpa membangun jaringan dengan dunia luar, perpustakaan ibarat `katak dalam tempurung¿.
Teknologi adalah suatu alat (tool) yang digunakan dalam mengembangkan sistem perpustakaan. Perkembangan teknologi informasi akan memberikan kemudahan kepada pengguna perpustakaan dan sistem pelayanannya. Perpustakaan harus menggunakan keunggulan teknologi informasi jika tidak ingin tertinggal. Beberapa bagian penting dari teknologi informasi yang diperlukan meliputi perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan jaringan (network). Perangkat keras yang diperlukan dalam sistem perpustakaan antara lain, CPU, storage, media penghubung, kabel dan lain-lain. Perangkat lunak yang diperlukan adalah program untuk sistem perpustakaan. Namun tanpa membangun jaringan dengan dunia luar, perpustakaan ibarat `katak dalam tempurung¿.
8. Measurement
Diperlukan pengukuran untuk mengetahui apakah implementasi KM telah berlangsung dengan baik. Konsep ini mengarah kepada pengukuran secara kuantitatif. Dengan parameter yang jelas.
Diperlukan pengukuran untuk mengetahui apakah implementasi KM telah berlangsung dengan baik. Konsep ini mengarah kepada pengukuran secara kuantitatif. Dengan parameter yang jelas.
9. Organizational DesignKonsep
ini mengarah kepada struktur organisasi perpustakaan. Struktur
organisasi perpustakaan harus berorientasi pada kebutuhan. Artinya
jangan sampai struktur dibuat terlalu birokratis dan terlalu banyak
jabatan yang kurang perlu. Dalam hal ini perlu dilakukan analisis
jabatan (job analysis). Hal ini akan menghilangkan
jabatan-jabatan yang kurang perlu. Dengan demikian, efektifitas dan
efisiensi sistem organisasi dapat tercapai.
10. CulturePerpustakaan
harus memiliki kontribusi dalam menumbuhkembangkan budaya. Sesuai
dengan kapasitasnya, perpustakaan harus mampu menumbuhkan nilai budaya
membaca yang masih kurang di Indonesia.
Dari persoalan internal
kita beralih ke masalah eksternal yakni masalah yang berasal dari
masyarakat khususnya pengguna perpustakaan. Sejalan dengan implementasi
KM dalam sistem perpustakaan, maka perpustakaan harus memperhatikan
bagaimana kondisi dan kesiapan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
proses transformasi perpustakaan menuju era digital library.
Pentingnya peran
perpustakaan seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi yang
sangat pesat menghasilkan sebuah kolaborasi yang dapat mengakselerasi
manfaat keduanya yakni melalui apa yang dinamakan telecenter. Telecenter sendiri merupakan bagian dari implementasi KM karena telecenter atau telecottage memfasilitasi akses informasi yang akan berpengaruh terhadap proses penyebaran pengetahuan.
Konsep untuk membagi
informasi dan mempermudah akses informasi dalam bentuk gerakan
telecenter sudah dimulai di Eropa dan Kanada sejak tahun 1980an. Gerakan
ini semakin membesar sejak tahun 1990an. Telecottage adalah
pusat pelayanan komunitas lokal dimana informasi, bimbingan dan bantuan
tersedia untuk setiap orang serta akses internet. Penggunaan telecenter
dapat memanfaatkan fasilitas untuk mendapatkan informasi yang
dibutuhkan.
Definisi tellecottage oleh pakar dari Hungaria (negara ini sering dijadikan model dalam membangun telecottage) adalah :
A telecottage is a unique infrastructure-intelligence base serving the local community. Its components are : (1) modern communication technology, (2) office, IT and educational Equipment, (3) a community space, (4) organizational competence and capacity and (5) accessible professional assistance, know-how and information.
A telecottage is a unique infrastructure-intelligence base serving the local community. Its components are : (1) modern communication technology, (2) office, IT and educational Equipment, (3) a community space, (4) organizational competence and capacity and (5) accessible professional assistance, know-how and information.
Implementasi telecenter
semakin marak di Indonesia. Telecenter didirikan sebagai sarana untuk
mempercepat akses informasi sehingga akan mempermudah penyebaran
pengetahuan. Dalam konteks pembangunan, hal ini akan membuka peluang
yang semakin luas untuk memberdayakan masyarakat.
Di beberapa daerah,
pembangunan telecenter tidak hanya membuat masyarakat sekitar menjadi
melek informasi dan teknologi, secara nyata keberadaan telecenter telah
mampu meningkatkan daya saing dan taraf perekonomian masyarakat. Lalu
bagaimana relevansi dan urgensi perpustakaan dengan peran ganda sebagai telecenter?
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, konsep hybrid library dengan peran ganda sebagai telecenter sangat tepat untuk diterapkan pada perpustakaan konvensional khususnya yang jauh dari core
dengan masalah keterbatasan yang lebih kompleks baik dari segi anggaran
dan SDM perpustakaan hingga penguasaan teknologi dan kultur masyarakat
pengguna di sekitarnya.
Hybrid library
sendiri memiliki beberapa kesamaan dengan telecenter baik dari segi
karakter, sarana pendukung maupun tujuan yang ingin dicapai. Keduanya
sama-sama merupakan penyelenggara sekaligus sentra informasi, memerlukan
sarana teknologi informasi sebagai media dan bertujuan untuk
menyebarluaskan informasi dan pengetahuan. Kolaborasi keduanya akan
semakin mengakselerasi pencapaian penyebaran informasi dan pengetahuan
ke seluruh penjuru Tanah Air.
Konsep telecenter akan membantu perpustakaan mengatasi digital divide
tidak hanya bagi pengguna perpustakaan tetapi juga para SDM
perpustakaan sendiri. Sebaliknya, perpustakaan sangat dibutuhkan oleh
telecenter sebagai sentra informasi dan pengetahuan bagi masyarakat yang
tergabung di dalamnya. Jika kolaborasi kedua konsep ini
diimplementasikan secara optimal, maka tidak hanya penyebaran informasi
dan pengetahuan saja yang akan meningkat. Baik langsung maupun tidak
langsung, eksistensi dan kontribusi perpustakaan khususnya perpustakaan
yang telah mengembangkan teknologi informasi dalam pelayanannya akan
semakin dikenal dan dirasakan oleh masyarakat.
Karena bersifat
kolaborasi, maka untuk menyatukan kedua konsep ini dalam tataran
realitas, perpustakaan dan kelompok masyarakat atau lembaga pegiat
telecenter harus bekerja sama. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian
sebelumnya, sebagian besar perpustakaan di Indonesia masih terbelenggu
pada masalah anggaran dan SDM. Kerjasama ini merupakan salah satu
terobosan yang perlu dilakukan jika perpustakaan tidak mampu mengatasi
kendala-kendala tersebut secara mandiri. Langkah ini akan mengakselerasi
proses transformasi perpustakaan-perpustakaan konvensional menjadi
perpustakaan digital (hybrid). Langkah selanjutnya adalah
mengordinasi dan menyatukan perpustakaan-perpustakaan tersebut dalam
sebuah jaringan perpustakaan digital (digital library networking). Dengan demikian, upaya untuk membangkitkan the power of library networking di Indonesia akan semakin mendekati kenyataan.
Penutup Hybrid library atau perpustakaan hybrid merupakan bentuk transformasi ideal dari perpustakaan konvensional menjadi perpustakaan digital. Perpustakaan yang awalnya hanya mengandalkan koleksi cetak dengan pelayanan manual mulai menggunakan sarana teknologi informasi (TI) baik dalam koleksi maupun pelayanan. Ini merupakan sebuah tuntutan jaman yang tak terelakkan di era teknologi informasi seperti sekarang. Tanpa sentuhan teknologi, perpustakaan akan menjadi usang dan ketinggalan jaman.
Penutup Hybrid library atau perpustakaan hybrid merupakan bentuk transformasi ideal dari perpustakaan konvensional menjadi perpustakaan digital. Perpustakaan yang awalnya hanya mengandalkan koleksi cetak dengan pelayanan manual mulai menggunakan sarana teknologi informasi (TI) baik dalam koleksi maupun pelayanan. Ini merupakan sebuah tuntutan jaman yang tak terelakkan di era teknologi informasi seperti sekarang. Tanpa sentuhan teknologi, perpustakaan akan menjadi usang dan ketinggalan jaman.
Penggunaan unsur TI sejalan dengan implementasi knowledge management
(KM) dalam sistem perpustakaan. Menurut konsep KM, keberadaan teknologi
informasi (TI) merupakan salah satu komponen yang penting karena TI
menjadi media dari transfer pengetahuan yang menjadi tujuan utama dari
pengimplementasian knowledge management.
Pesatnya perkembangan TI
di satu sisi menjadi akselerator bagi perpustakaan untuk berkembang
secara optimal menjadi lebih berkualitas. Namun di sisi lain, masalah TI
juga menjadi tantangan yang berat karena hingga saat ini sebagian besar
perpustakaan di Indonesia masih bergelut pada persoalan klasik yang
sama, yakni keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia. Karenanya
diperlukan sebuah terobosan untuk menyiasati kendala dan keterbatasan
menjadi sebuah peluang yang tetap mungkin dilakukan agar bangkitnya the power of library networking di Indonesia tidak lagi sebatas impian. Dalam konteks ini, konsep telecenter hadir sebagai sebuah solusi alternatif.
Konsep telecenter atau telecottage memiliki beberapa persamaan dengan hybrid library.
Kolaborasi keduanya akan mengakselerasi penyebaran informasi dan
pengetahuan ke seluruh penjuru Tanah Air. Pada akhirnya kita berharap,
penyebaran informasi dan pengetahuan yang optimal akan meningkatkan daya
saing dan kualitas bangsa.
Sumber: Majalah Visi Pustaka [Vol.10 No.3 - Desember 2008]
No comments:
Post a Comment
Masukan dan Nasihat dari Sobat Pustaka adalah apresiasi untuk kami.