General — 23 July 2007
——
Moderator:
Saudara-saudara, kita akan berdiskusi tentang TEKNOLOGI DAN PUSTAKAWAN. Saya kira
ini topik yang sangat menarik dan cukup relevan sehubungan dengan Teknologi Informasi yang melanda kita, dunia kepustakawanan Indonesia. Ada yang memiliki gagasan untuk hal ini?
Noerrachman : Teknologi (IT) adalah tool-nya tools (pustakawan). Itu hal yang harus kita pahami menurut saya. Pertanyaan justru lebih difokuskan pada pustakawan itu sendiri, sudahkah ia tahu apa yang dibutuhkan oleh para stakeholder perpustakaan dan mendapatkan “trus” dari mereka (khususnya pengguna dan sponsor), atau dengan kata lain “apa sih yang bisa diberikan perpustakaan untuk usersnya”. Maka jika ini bisa lebih “clear” mungkin teknologi baru bisa membantunya. Gaining “trust” justru lebih ditujukan antara perpustakaan dan penggunanya…
B. Soedarsono : sejak saya bergabung dengan PDII-LIPI saya sudah mendengar jargon perpustakaan yang katanya harus “user oriented”. Ternyata selama 30-an tahun ini, saya secara pribadi yang saya alami, terjebak dalam kubangan “program oriented” atau bahkan “project oriented”. Nah saya harapkan anda-anda yang lebih muda tidak terjebak dalam kubangan yang sama.
Putu_Pendit : rekan-rekan, beberapa pendapat berisi diskusi tentang teknologi, terutama tentang aplikasi komputer. Sebagian diskusi menyangkut kebendaan teknologi — hardware, software, harga, alat, besar/kecilnya, cepat/lambatnya, dan sebagainya. Saya rasa ada kesalahan besar dalam cara kita memandang teknologi, kalau cuma itu yang dibicarakan. Juga salah besar kalau kita hanya bicara tentang “skill” –ketrampilan, pengetahuan tentang produk baru, dimana membelinya dan sebagainya. Ada yang kita lupakan, mungkin karena kita anggap tidak penting. Setiap teknologi –termasuk komputer—mengandung tata nilai dan dalam tata nilai ini ada yang disebut “trust”. Susah menerjemahkan secara tuntas, apa yang dimaksud dengan “trust” ini. “trust”dibidang komputerisasi perpustakaan dapat direduksi ke persoalan antara dua orang : teknolog (atau orang “komputer”) dan pustakawan. Diantara keduanya, boleh saya bilang belum tercipta “trust”. Mengapa?
Yudho Giri: beberapa sebab:
* Orang komputer kurang mengerti bahasa pustakawan, seperti apa tajuk, subyek, DDC dsb. On the other hand, pustakawan kurang begitu mengerti bahasa komputer, seperti RAM, ROM, GB, MB, KB dsb. Susahnya kalau ketemu orang yang sok pengin dianggap pinter dengan berbicara dalam bahasa “dewa” sehingga bahasanya susah dicerna oleh orang yang awam (too many jargons, buzzwords etc). kalo kedua belah pihak begitu, udah deh, satu bicara pake bahasa Mars, satunya Venus. Kagak nyambung…..
* Perilaku user yang kadang-kadang meskipun scope project jelas tertuang di TOR tapi ujung-ujungnya minta ditambahain ini itu. Bahasa jawanya “feature creep”.
Putu_pendit : Seorang teknolog pernah bertanya kepada saya: mengapa sulit sekali mengembangkan teknologi komputer di perpustakaan, padahal sudah jelas komputer adlah teknologi hebat? Saya jawab dengan mantap dan penuh percaya diri: you have not gained their trust. Rekan itu mendesak: siapa “they” itu? Saya jawab dengan mantap tetapi kurang percaya diri: pustakawan, stakeholder perpustakaan, pemakai jasa perpustakaan, masyarakat sekitar perpustakaan, masyarakat sekitar sekitarnya perpustakaan, masyarakat…
Sulistyo_Basuki : saya ingin mengingatkan lagi ketika kita bicara masalah perpustakaan dan teknologi. Sebenarnya terlalu sempit kalau kita memandang teknologi itu hanya komputer. Bukannya banyak bidang perpustakaan yang teknologinya bisa bentuk lain: microfilm, digital archive, library security, e-book, library promotion bahkan sarana yang mendukung eksterior + interiornya.
Ari : sekarang banyak lho pustakawan yang juga orang komputer, sehingga masalah “trust” seperti diungkapkan diatas barangkali kurang relevan buat kami. Jadi yang perlu dimatangkan adalah konsepnya. Sedikit hati berbunga-bunga mengetahui ITB (Thanks for all of you:KMRG Team!) sudah mengembangkan Indonesia Digilib yang sukses luar biasa itu. Tapi, segera terasa betapa kurang “librarian touch” di software tersebut. Dan rekan-rekan pustakawan akan segera menyadari bahwa LIBRARY AUTOMATION IS NOT JUST DIGITAL LIBRARY. Ada cakupan proses yang jauh lebih besar lagi yang merupakan bisnis proses utama di perpustakaan yaitu pengadaan, sirkulasi dan katalogisasi. Juga proses tmu balik see also, tesaurus yang pernah dikonsepkan Bu Soma dikepala kita semua.
Noerrachman : menurut saya “trust” yang dimaksud oleh pak Putu malah harusnya terjadi pada stakeholder perpustakaan. Bagi saya, teknolog dan pustakawan hanya “sekedar” fungsi yang membantu (servant) suatu pekerjaan dimana pemilik dari perpustakaan adalah user dari perpustakaan. Mohon maaf bukannya mau mengkritik profesi pustakawan, namun saya sering mendengar dan membaca dimilis ini juga, bahwa dalam konsep perpustakaan pada pustakawan lebih sering –mohon maaf—ona**, hanya mencari kepuasan diri semata tanpa memikirkan kepentingan penggunanya (sama juga kadang-kadang tingkah yang sama juga terlihat pada orang IT). Mungkin seperti para seniman yang sering menggunakan pola pikir “art for an art” dari pada “art for improvement of life”.
Putu_Pendit : saya setuju pendapat yang pada intinya menyatakan persoalan KITA (pustakawan dan institusinya) tidak bisa direduksi menjadi persoalan teknolog versus pustakawan. Mereka semua mengajukan argumen yang sama, bahwa akhirnya TEKNOLOGI itu jauh lebih rumit dari semata-mata hardware dan software. Saya rasa ini adalah kesepakatan mendasar dari social komputing. I couldn`t agree more. Adapun maksud saya mereduksi persoalan menjadi “techno-person vis a vis librarian” adalah untuk kemudahan diskusi saja. Sebab dalam padangan saya, kedua pihak inilah yang menjadi pokok persoalan dalam konteks aplikasi teknis. Sedangkan pihak lain (stakeholder, decision maker misalnya) bermain di konteks non-teknis. Pada akhirnya tentu saja baik teknolog maupun pustakawan tidak bisa bekerja sendirian (atau berdua saja). Mereka ada dilingkungan sosial tertentu. Teknolog tentu punya lingkungan sosial (lengkap dengan background pendidikan) yang menjadikannya berbeda dari pustakawan (yang juga punya background pendidikan sendiri). Memaksakan keduanya (teknolog dan pustakawan) sebagai satu sosok adalah –menurut saya—hil yang mustahal. Tentu banyak sejarah perjalanan yang sudah ditempuh keduanya, yang tidak mungkin dihapus begitu saja. Contoh posting mister Yudho, Mister Bagus, dan Mister Yuan tentang perbedaan (atau ketidak samaan…) pandangan keduanya tentang klasifikasi, katalogisasi, temu-kembali, dan seterusnya dan seterusnya…. Konvergensi, sebagaimana yang diiming-imingkan oleh para teknokrat tulen (yaitu semua akan jadi satu lewat persatuan alat-perangkat) menurut hemat saya adalah utopis khas kaum non-humanis yang mengira suatu saat dunia akan menjadi “The-One” (nonton filmnya nggak?. Teknolog dan pustakawan tetap akan ada di dunia ini lengkap dengan kriterianya masing-masing. Yang selalu jadi persoalan, dan perlu terus dipecahkan adalah bagaimana membangun “trust” antara keduanya.
Harlagisedih : Ikutan berpendapat. Pak Putu, jika misalnya dalam beberapa minggun ke depan ada orang yang bisa menemukan teknologi baru untuk semua jenis kegiatan kepustakawanan –ini seandainya—yang membuat pustakawan tidak susah dengan teknologi?
Putu_Pendit : memang Utopia ini sering diungkapkan. Bahkan ada yang memimpikan bahwa suatu saat semua profesi bisa digabung jadi satu profesi berbasis komputer. Saya ragu saja apakh betul bisa terwujud.
Harlagisedih : Solusi Konvergen, jika itu ada dan memungkinkan, why not? Kalau memang diperlukan akan ada trust, kenapa nggak di coba juga? Tapi menurut saya, konvergen disini adalah dalam konteks ada unsur teknologi dalam diri pustakawan dan ada unsur pustakawan dalam diri teknolog.
Putu_Pendit : ini memang impian juga. Tapi saya bicara dari pengalaman. Membentuk orang seperti ini hampir mustahil. Kata “membentuk” itu sendiri terlalu vulgar, seakan-akan kita bisa membentuk manusia. Emangnya Bruce Almighty (nonton filmnya).
Harlagisedih : banyak contoh untuk ini. Pak Putu aja punya basis teknologi, perpustakaan dan bahkan juga jurnalistik.
Putu_Pendit : Persis. Terima kasih atas sumbangan istilah “basis” dalam posting anda. Saya pikir, orang memang sebaiknya punya “basis” yang cukup luas (walaupun bukan berarti saya punya). Tetapi orang tidak bisa jadi teknolog sekaligus pustakawan sekaligus jurnalis.
Saya mengusulkan pengembangan istilah “basis”. Basis disini adalah sebuah pengetahuan dasar yang cukup lengkap tentang sesuatu. Bukan pengetahun rinci dan prosedural. Setiap kali orang akhirnya harus menggunakan keahlian specifik untuk profesi specifik. Tapi basis yang luas memungkinkan orang membangun trust bersama orang lain. Bagaimana membangun basis luas di kalangan pustakawan ini? Inilah persoalan kami dibidang pendidikan.
Ijinkan pula saya mengintrodusir istilah “humanisme”. Menurut saya, humanisme berdasar pada basis pengetahuan yang luas. Semakin luas seseorang memiliki basis pengetahuan, semakin toleran lah ia. Toleransi ini adalah landasan bagi trust. Kalau sudah punya toleransi, orang mudah bertemu orang lain. Teknolog yang toleran akan mudah bertemu pustakawan yang toleran, demikian juga sebaliknya. Disini kita bisa membedakan seorang humanis dengan seorang seorang tekno-maniac atau seorang bibliomaniak. Humanisme pula yang bisa menolak utopia bahwa suatu saat semua akan terkonvergen jadi satu.
Noerrachman : jadi sedikit kesimpulan dari diskusi ini (masalah komputerisasi perpustakaan), kembali Teknologi (TI) tool-nya tools (pustakawan). Pertanyaan justru difokuskan ke pustakawan itu sendiri, sudahkah ia tahu apa yang dibutuhkan oleh para stakeholder perpustakaan dan mendapat “trust” dari mereka (khususnya pengguna dan sponsor), atau dengan kata lain, “apa sih yang bisa diberikan oleh perpustakaan untuk user-nya”, maka jika ini bisa lebih “clear” mungkin teknologi baru bisa membantunya… gaining “trust” justru lebih ditujukan antara perpustakaan dan penggunanya.
—
Posting ini juga ditampilkan di blog: http://har-tanto.blogspot.com/2006_03_01_archive.html
No comments:
Post a Comment
Masukan dan Nasihat dari Sobat Pustaka adalah apresiasi untuk kami.