Sumber : www.muslimheritage.com
Sardar dan Davies menulis dalam bukunya "Distorted Imagination" :
Pesatnya industri penerbitan buku di Dunia Barat benar-benar sangat
mengagumkan dan pastinya juga sangat berharga. Namun pencapaian mereka
terkini tidak dapat menyamai kehebatan, kompleksitasnya dan luasnya
penyebaran publikasi yang pernah berkembang pada peradaban Dunia Islam
sekitar abad ke delapan. Hampir seribu tahun kemudian baru akhirnya
jumlah buku yang diterbitkan oleh Dunia Barat menyamai jumal buku yang
Dunia Muslim pernah terbitkan sebelumnya. Industri publikasi yang
demikian pesatnya kala itu masih berjalan ketika barat mulai mengakupasi
tanah-tanah Orang Islam, namun secara sistematis dihancurkan oleh
kekuatan kolonial, bersama-sama dengan sistem pendidikan dan kesehatan
serta intitusi kebudayaan muslim lainnya. (Z. Sardar and M.W. Davies: Distorted Imagination; London: Grey Seal Books, 1990, pp. 96-7 )
Dunia
Islam tidak melulu seperti apa yang kita saksikan saat ini. Sekitar
sepuluh abad lampau, seperti yang pernah digambarkan oleh Scott (S. P. Scott: History of the Moorish Empire in Europe; Philadelphia and London: J. B. Lippincott Company, 1904, vol 3; p. 522.)
: "Perbedaan yang sangat antara dunia intelektual masyarakat Islam dan
Kristen sangat mencolok terlihat. Perpustakaan Monstandir, Sultan
penguasa Mesir, memiliki delapan puluh ribu volume buku, sementara itu
perpustakaan Fathimiyyah di Kairo, sejuta volume; dan di Tripoli, dua
ratus ribu volume. Ketika Bangsa Mongol menghancurkan Baghdad di Abad ke
tiga belas buku-buku yang dibuang ke dalam sungai Tigris, yang lebarnya
kira-kira 400 meter, sampai menutupi permukaannya dan membuat aliran
sungainya menjadi hitam akibat tinta-tinta yang luntur. Sementara
sisanya yang tidak terbuang ke dalam sungai ikut hancur dimakan api
bersama dibakarnya gedung-gedung perpustakaan di Baghdad. Kembali ke
perpustakaan peradaban Islam; Jumlah perpustakaan umum ketika Andalusia,
Spanyol masih dikuasai kekhalifahan Islam adalah tujuh puluh dengan
masing-masing perpustakaan memiliki koleksi buku yang sangat besar. Ibnu
al Matharan dokter pribadinya Salahuddin bahkan memiliki sekitar
sepuluh ribuan manuskrip, di dalam rak bukunya Dunasch Ben Tamin seorang
Yahudi dan ahli bedah terkenal di Kairo terdapat dua puluh ribuan
manuskrip. Empat abad kemudian pada Dunia Barat, tidak termasuk koleksi
di dalam biara-biara, perpustakaan Kerajaan Prancis memiliki sembilan
ratus volume, yang mana dua pertiganya buku-buku teologi; dengan subjek
yang terbatas pada tata-cara seremoni keagamaan, keajaiban orang-orang
suci, tugas dan kewajiban petinggi-petinggi gereja".
Mackensen dan Pinto (O. Pinto: `The Libraries of the Arabs during the time of the Abbasids,' in Islamic Culture 3 (1929), pp. 211-43)
menulis secara mendalam tentang perpustakaan Islam pada masa
keemasaannya dengan mengkhususkan peran dan posisi mereka pada peradaban
Muslim. Demikan meluasnya koleksi perpustakaan umum hingga saat
itu hampir-hampir tidak mungkin menemukan masjid atau institusi
pendidikan atau sejenisnya sepanjang kekhalifahan Muslim tanpa melihat
buku-buku yang disusun rapih pada ruang baca (A. Shalaby: History of Muslim Education:
Dar Al Kashaf; Beirut; 1954; p 95). Baghdad, misalnya, sebelum
penaklukan oleh Bangsa Mongol, memiliki tiga puluh enam perpustakaan
umum dan lebih dari seratus toko buku, yang beberapanya juga sekaligus
sebagai penerbit dan memperkerjakaan sejumlah penyalin buku/manuskrip
(saat itu belum ditemukan mesin cetak untuk menggandakan buku-buku
hingga tugas penggandaan dilakukan dengan menulis kembali oleh
penyalin). (J.W. Thompson: The Medieval library,
Hafner Publishing Co., 1957, p. 351). Di Merw, Persia Timur, sekitar
612-614 Hijirah atau 1216-1218 Masehi, terdapat sepuluh perpustakaan,
dua diantaranya terdapat di masjid agung dan sisanya terletak di
sekolah-sekolah atau saat itu dikenal dengan madrasah (Yaqut: Mu'jam in
J. Pedersen, The Arabic Book, translated by G. French, Princeton-New
Jersey: Princeton University Press, 1984, p. 128). Sedangkan di
Marrakesh (Marrakech) Barat Daya Maroko, sebuah masjid dinamakan Kutubya
karena sekitar dua ratus "kutubiya" atau penjual buku berkumpul di
sekitar masjid yang dibangun oleh penguasa dinasti Almohad; Abdul al
Mumin (R. Landau: Morocco:
Elek Books Ltd, London 1967. p.80). Di Spanyol saja, saat Islam
berkuasa, memiliki tujuh puluh perpustakaan umum (G. Le Bon: "La
Civilisation des Arabes", IMAG, Syracuse, 1884, p. 343). Banyak
lagi perpustakaan-perpustakaan serupa yang terdapat di Kairo, Aleppo
dan kota-kota besar Iran, Asia Tengah dan Mesopotamia (Z. Sardar and
M.W. Davies: Distorted Imagination; op cit; pp. 101). Abdul al-Daula
pada 372 Hijirah / 983 Masehi membangun perpustakaan di Shiraz, yang
digambarkan oleh al-Muqqadasi sebagai berikut :
Sebuah
komplek dengan bangunan-bangunan yang dikelilingi taman, danau-danau
dan jalur air. Gedung-gedung tersebut beratapkan kubah, total memiliki
360 ruangan. Dalam setiap ruangan katalog ditempatkan dalam rak-rak dan
setiap ruangan dihiasi dengan karpet. (Al-Muqaddasi, Shams Al-Din
Mohammad Ibn Ahmad, Kitab Ahsan al-taqasim fi ma'rifat al-aqalim, edited by M.J. de Goeje, 1877, 2nd edition, 1906, p. 449)
Sebagai
tambahan perpustakaan pusat milik kekhalifahan, terdapat jaringan
sangat luas dari perpustakaan umum di banyak kota besar, dan koleksi
buku-buku perpustakaan khusus yang sangat prestisius dimana menarik
orang-orang berpendidikan dari pelbagai penjuru Dunia Islam (Z. Sardar
and M.W. Davies: Distorted Imagination; op cit; pp. 101). Tertulis
dalam perpustakaan Muslim Spanyol, dan dikutip oleh Scott :
"Perpustakaan
tidak bisa disingkirkan dari salah satu faktor yang mengkrotibusikan
pencerahan kepada publik dan pembentukan formasi karakter nasional.
Tidak ada kota-kota yang besar dan penting tanpa ada paling tidak satu
perpustakaan utama di dalamnya. Rak-rak perpustakaan terbuka untuk semua
pemakainya. Katalog memfasilitasi eksaminasi koleksi dan klasifikasi
dari pelbagai subjek. Banyak volume yang dihiasi dengan perhiasan yang
menakjubkan dan sangat indah; dan yang paling berharga adalah volume
dengan hiasan kulit dan aroma kayu yang menyegarkan; beberapa koleksi
berharga lainnya bahkan dilapisi dengan emas dan perak. Di sini
(perpustakaan) dapat kita temukan apa saja yang telah dipelajari di masa
lalu dan penelitian yang tengah dilakukan serta penemuan-penemuan
terbaru saat itu. Filosofi Yunani, astronomi Babilonia, sains
Aleksandria serta hasil pengamatan panjang juga eksperiman dari atas
menara observasi bintang dan laborotorium kota Cordoba serta Seville (Al-Muqaddasi, Shams Al-Din Mohammad Ibn Ahmad, Kitab Ahsan al-taqasim fi ma'rifat al-aqalim, edited by M.J. de Goeje, 1877, 2nd edition, 1906, p. 449).
Masjid
adalah pusat dari aktivitas intelektual dan medium penyebaran buku. Di
dalam masjid, selain menjadi tempat beribadah, penulis dan orang-orang
berpendidikan menularkan apa yang telah mereka pelajari kepada anak-anak
muda, tidak hanya pemuda dan pelajar tapi juga ilmuwan atau pekerja
profesional biasa diterima di sini, dalam aktivitas ilmiah sudah
menjadi kebiasaan bahwa semua orang, apapun dia, dapat ikut serta dalam
diskusi (Z. Sardar and M.W. Davies: Distorted Imagination; op cit; pp. 97).
Aktivitas intelektual yang demikian semakin mengembangkan penyebaran
buku melalui masjid-masjid, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sardar dan
Davies :
Ketika
seorang penulis berkeinginan untuk menerbitikan karyanya, pertama-tama
dia akan menulis catatan-catatan, dan kemudian menulis manuskrip asli
(asl) yang pada awalnya disebut "draft" (muswadda). Walaupun bentuk
muswadda sudah memiliki isi yang cukup mendalam namun kenyataanya belum
bisa diterbitkan. Dalam kosa kata Arab, untuk menerbitkan, kata yang
dipakai adalah kharajja berarti "melepaskan" (let (it) go out) atau
"keluar" (Come out) atau "diterbitkan" (be published). Karena belum bisa
diterbitkan, seorang penulis perlu untuk mempresentasikan karyanya
kepada publik lebih dahulu, yang dilakukan di masjid dengan cara
membacanya atau mendiktekannya.
Para
ilmuwan biasanya akan mendiktekan banyak sekali karyanya di dalam
masjid di mana masyarakat umum berkumpul untuk mendengarkan mereka dan
profesional warraqs (ahli penyalin buku/manuskrip) akan mengubah apa
yang telah didiktekan menjadi buku. Walaupun buku tersebut adalah buku
pesanan yang dibayar khusus mereka tetap akan menerbitkan buku-bukunnya
dengan cara yang seperti telah dijelaskan di atas. Seperti misalnya,
al-Farra seorang ahli Filologi yang cukup dikenal pada abad ke sembilan,
pernah diminta oleh salah seorang sahabatnya untuk menulis buku yang
dapat membimbingnya dalam mengerti Al-Qur'an, sehingga sahabatnya itu
tidak akan merasa malu bila ditanyakan satu atau dua hal mengenai apa
yang ada di dalam Al-Qur'an oleh seorang Emir yang berhubungan erat
dengannya. Al-Farra, yang tinggal di Baghdad, setuju untuk
menuliskannya, juga mengumumkan untuk mendiktekan buku tersebut di
masjid, dan dengan cara itulah buku tersebut diterbitkan (Z. Sardar and
M.W. Davis: Distorted Imagination; op cit; pp. 98 ).
Salah
satu peran utama Masjid lainnya adalah menjadi: perpustakaan. Salah
satu tradisi yang mengesankan hidup di saat itu adalah kebiasaan mereka
untuk menyumbangkan manuskrip dan buku-buku milik mereka kepada masjid,
tidak hanya satu atau dua buku, namun terkadang sampai ribuan volume.
Pedersen menjelaskan bahwa sejak awal masjid tidak hanya ditujukan
semata untuk tempat ritual beibadah, namun juga sebagai sekolah dan
tempat untuk belajar. Hingga sepertinya normal saja bila saat itu
masyarakat Muslim memiliki kebiasaan untuk memberikan buku-buku kepada
masjid. Hingga akhirnya dari sekian banyak buku-buku yang disumbangakan
kepada masjid membentuk perpustakaan atau darul kutub disamping menjadi
masjid itu sendiri. (J. Pedersen: The Arabic Book, op cit, p. 126 ).
Sepanjang daerah yang dikuasai orang-orang Islam, dari Atlantik sampai
Padang Pasir di Persia bahkan sejauh mata memandang. Muslim memandang
masjid sebagai surga penyimpanan buku-buku mereka yang paling berharga
sehingga dengan jumlah yang tidak kira-kira mereka dengan rela
menyumbangkan buku. Di Al-Qayrawan, manuskrip-manuskrip dihadiahkan
kepada para murid dari mereka yang mencari ridho Allah SWT, kebiasaan
tersebut banyak direkam dalam banyak manuskrip. (M. Al-Rammah: The
Ancient Library of Kairaouan and its methods of conservation, in The Conservationand preservation of Islamic manuscripts,
Proceedings of the Third Conference of Al-Furqan Islamic Heritage
Foundation, 1995, p. 32). Serupa dengan al-Zaidi yang membangun masjid
dan perpustakaan yang namanya diambil dari milik pembangunnya, yakni
al-Zaidi sendiri. Sebelum ajal menjemputnya al-Zaidi menyumbangkan semua
koleksi miliknya kepada setiap murid dan pencari ilmu pengetahuan
(Al-Hadarah (periodical) No 33, p. 8, quoted by G.Awad: Khawazin al-Kutub,
p. 231 in A. Shalaby: History, op cit, p. 100.[19] M. Sibai: Mosque
Libraries: An Historical Study: Mansell Publishing Limited: London and
New York: 1987. p 92). Al-Jaburi melaporkan bahwa Naila Khatun, seorang
janda kaya berasal dari Turki, mendirikan masjid untuk mengenang
suaminya, Murad Afandi. Naila menempelkan masjid yang dibangunnya dengan
madrasah dan perpustakaan, yang koleksinya dilaporkan berisi buku dan
manuskrip berharga, semuanya ditanggung dari kantong Naila sendiri. Di
Aleppo, perpustakaan masjid terbesar dan mungkin juga tertua yakni:
Sufiya, terletak di Masjid Agung Kekhalifahan Umayyad. Memiliki jumlah
koleksi yang sangat besar, dan sekitar 10.000 di antaranya disumbangkan
oleh salah satu penguasanyanya yang sangat terkenal, Pangeran Sayf
al-Dawla. Para ilmuwan mengikuti juga jejak yang serupa. Di Irak, Masjid
Abu Hanifa memiliki perpustakaan yang menawan hasil dari
sumbangan-sumbangan perpustakaan milik pribadi yang ada disekitarnya.
Diantara penyumbangnya adalah seorang dokter, Yahia Ibn Jazla pada 493
Hijriah / 1099 Masehi, juga penulis sejarah al-Zamakhshari pada 538
Hijriah / 1143 Masehi. Al-Fasi mencatat pada 955 Hijirah / 1548 Masehi,
seorang guru dari Qarawiyyin yakni Abu Adbdullah Muhhamad al-Ajmawi,
menyumbangkan karya besarnya berjudul al-Qawl al-Mutabar kepada
murid-murid di masjid (A al-Fasi: `Khizanat al Qarawiyyin wa nawadiruha,'
Majallat Mahad al-Makhtutat al-Arabiya 5 (May 1959): 3-16. p. 9), dan
Ibu Khaldun menyumbangkan kepada perpustakaan masjid yang sama kitab
karya-nya berjudul al-Ibar, agar dapat dipinjamkan hanya kepada
orang-orang yang dapat dipercaya selama dua bulan (W. Heffening; J.D.
Pearson: maktba; Encyclopaedia of Islam,
vol VI, pp. 197-200; at p. 199) . Tiga orang ilmuwan, salah satunya
Yaqut, mendelegasikan koleksi buku dan manuskrip mereka sebagai wakaf
kepada perpustakaan masjid (Ibn al-Imad: Shaderat al-dahab,
v: 122, in A. Shalaby: History, op cit, p. 101). Kebiasaan ini biasanya
dilakukan oleh para ilmuwan saat itu atas rasa syukur mereka terhadap
perpustakaan masjid atas dukungan dan dukungannya.
Berdasarkan observasinya Mackensen menulis tentang kebiasaan memberi hadiah kepada perpustakaan masjid :
"Buku-buku
dihadiahkan, dan banyak ilmuwan yang mempersembahkan koleksi
perpustakaan pribadinya kepada masjid kotanya sebagai preservasi dan
membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin mempelajari dan
memanfaatkanya hingga berkali-kali. Sehingga membesarlah
universitas-universitas besar di Kordoba dan Toledo dimana menarik
banyak minat baik Muslim maupun Orang Kristen dari seluruh dunia, hal
yang serupa pula membesarkan al-Azhar di Kairo, yang setelah ribuan
tahun masih menjadi lembaga pendidikan terkenal dalam Dunia Islam sampai
saat ini. (R. Mackensen. "Background of the History of Muslim
libraries", The American Journal of Semitic languages and literatures, 51 (January 1935), p 123).
Umumnya
masjid-masjid memang memiliki perpustakaan tetapi kebanyakan
perpustakaan yang mereka miliki cukup sederhana. Namun, beberapa lainnya
memiliki koleksi yang sangat kaya termasuk koleksi langka dan tidak
ternilai. Banyak
karya ilmiah yang juga termasuk dalam koleksi untuk disimpan di dalam
masjid, menurut Sibai karya-karya ilmiah tersebut adalah karena ekspresi
rasa syukur para ilmuwan karena dijamin kehidupannya (secara materi)
termasuk akomodasi gratis dan alat-alat tulis atau apa saja yang
dibutuhkan dalam mereka menulis karya-karyanya. Benar, memang saat itu
adalah hal yang biasa masjid menjadi tempat persinggahan dan berteduh
ilmuwan yang sedang dalam berpergian. Al-Ghazali dan al-Baghdadi
misalnya pernah tinggal dalam periode waktu tertentu di atas sebuah
minaret (menara) Masjid Ummayad di Damaskus. Sementara, Ibnu al-Haytam
kabarnya pernah tinggal dalam waktu yang cukup lama di dalam kubah di
atas salah satu pintu masuk utama Masjid Al-Azhar. Yaqut, misalnya, pada
saat kematiannya di 627 Hijriah / 1229 Masehi mewariskan buku-buku
milikinya sebagai wakaf kepada Masjid Zaydi beralamatkan di Jalan Dinar,
Baghdad. Kisah yang sama juga dilakukan oleh al-Baghdadi. Masjid Al
Aqsa di Palestina, tempat suci ketiga setelah Makkah dan Madinah,
memiliki empat buah perpustakaan. Masji Al-Aqsa Memiliki beberapa
koleksi buku pada Madrasah Nahawiyya dan Ashrafyia, dan sebuah
perpustakaan pada madsarah yang paling bergengsi; Madrasah Farisiyya.
Disamping Masjid Al-Aqsa berdiri Masjid Umar yang dibangun ketika
Khekhalifahan Umar Ibnu al-Khattab berkuasa (12-23 Hijriah / 634 – 644
Hijriah). Madrasah Farisiya berkembang pesat menjadi sebuah akademi yang
penting untuk pendidikan agama dan para ilmuwan menimba ilmu termasuk
juga koleksi buku yang sangat besar tersebar di dalam empat madrasah
Masjid al-Aqsa. Salah satu madrasah yang cukup penting adalah Madrasah
Nassiryia, didirikan oleh Nasir al-Maqdisi (505 Hijriah / 1111 Masehi)
juga dikenal dengan Ghazzaliya sebagai penghargaan terhadap filsuf
terkenal al-Ghazali. Al-Ghazali mengasingkan dirinya di Madrasah
Nassiryia hingga menyelesaikan karya besarnya "Al-ihya ulum addin".
Masjid
Ibnu Tulun di Kairo kuno, secara perlahan-lahan menjadi salah satu
pusat pendidikan tinggi di Kairo, dan Ibrahim mengamati bahwa
perpustakaan di masjid ini menyimpan banyak karya terkenal yang
berhubungan dengan kedokteran.
Khalifah
Qarawiyyin di Fes memiliki tiga pepustakaan yang terpisah, yang paling
terkenal adalah Perpustakaan Abu Inan juga dikenal dengan Perpustakaan
Ilmya, yang mana bangunan aslinya sampai sekarang masih berdiri.
Didirikan oleh Sultan kekhalifahan Merinid, al-Mutawakkil Abu Inan, pada
750 Hijriah / 1349 Masehi. Perpustakaan ini dapat diginakan oleh siapa
saja, termasuk masyarakat biasa ataupun pelajar. Seorang pembaca buku
yang bersemangat sekaligus kolektor, Sultan menyumbangkan buku-buku dan
bermacam-macam benda untuk perpustakaan barunya termasuk di dalamnya
subjek mengenai agama, sains, intelletualitas dan bahasa, Sultan juga
menunjuk seorang pustakawan untuk mengurus segala sesuatunya atas
perpustakaan tersebut. Kota Marokko lainnya juga memiliki perpustakaan
dengan jumlah besar koleksi buku pada masjidnya. Pedersen merujuk pada
manuskrip dengan jumlah yang sangat banyak ditemukan pada Masjid Zaytuna
di Tunisia, Masjid Tlemcen di Aljazair dan Masjid Rabat di Marokko.
Perpustakaan
Zaytuna di Tunisia, adalah yang paling kaya di antara lainnya. Memiliki
beberapa bagian koleksi yang bila beberapa bagian itu dijumlah total
semuanya akan mencapai ribuan koleksi. Saat itu kebanyakan pemimpin dari
dinasti kekhalifahan Hafsid saling berkompetisi satu sama lainnya untuk
menjadi pemimpin yang paling prestisius dalam merawat dan memperbesar
koleksi buku pada perpustakaan Masjid; yang mana pernah pada suatu masa
salah satu pimpinan mereka koleksi buku mencapai jumlah 100,000 volume.
Masih
di Tunisia, di Al-Qayrawan tepatnya, masjid agungnya menyimpan warisan
intektual terbaik bahkan terhebat dan juga kenangan dari para ilmuwan
melalui bukku-buku dan dokumentasi yang mereka tulis dengan tangan
ilmuwan itu sendiri, atau setidaknya tangan orang lain menulis buah
fikir mereka. Koleksi manuskrip yang sangat kaya dan dikumpulkan pada
Masjid Universitas al-Qayrawan memiliki usia setua masa Aghlabid (abad
ke-9 Masehi). Dokumen-dokumen tersebut antara lain berisi tentang data
kebudayaan unik mengenai kurikulum yang digunakan oleh masjid agung
dalam pendidikannya saat itu. Koleksi-koleksi yang berada pada
perpustakaan kuno Al-Qayrawan sebagian besar berbentuk parchment (medium
untuk menulis yang terbuat dari kulit sapi atau domba), juga dikenal
sebagai koleksi terbesar dan terbaik di sepanjang Dunia Islam Arab.
Perpustakaan masjid juga memiliki koleksi saintifik dalam jumlah besar,
dan manuskrip yang tidak pernah dibayangakan oleh kebanyakan manusia
dapat mereka miliki. Nama Abdul Wahab ditemukan pada Perpustakaan Atika
kota Qayrawan dalam buku Umam al-Qadima
(Sejarah Bangsa-Bangsa Kuno) adalah terjemahan dalam Bahasa Arab dari
tulisan Saint Gerome pada suatu masa sebelum kematiannya di 420 Masehi.
Juga, pada beberapa Perpustakaan Masjid, Nama Abdul Wahab yang sama
kembali muncul atas terjemahan dari Bahasa Latin karya Plyni (Gaius Plinius Secundus)
seorang ahli botani pada zaman Romawi. Masjid Ahmad di Tanta (Mesir)
memiliki koleksi manuskrip dengan 25 subjek berbeda antara lain di
dalamnya terdapat subjek mengenai kedokteran, aritmatika, aljabar dan
seni membuat warna dengan cairan-cairan tertentu.
Kota
Zaytuna memiliki sebuah perpustakaan bernama al-Abdaliyah yang memiliki
dalam jumlah besar koleksi manuskrip langka, tentu saja hal itu menarik
banyak orang dari pelbagai lokasi untuk mempelajarinya. Ketika
orang-orang Spanyol menaklukan Tunisia antara 940 dan 981 Hijirah / 1534
dan 1574 Masehi, mereka menjarah Masjid-Masjid dan perpustakaan di
sana, serta mengambil banyak dari koleksi buku dan manusktip
perpustakaan yang sangat berharga. Kekhalifahan Turki (Utsmaniyah) yang
merebut kembali Tunisia dari tangan orang-orang Spanyol memperbaiki
kembali bahkan juga memperbesar Masjid Zaytuna, perpustakaan dan juga
madrasahnya. Usaha yang dilakukan oleh Kekhalifahan Utsmaniyah itu
membuat Masjid Zaytuna kembali menjadi pusat kebudayaan Islam. Bangsawan
Turki (Bey), Ahmad Pasha I, tidak hanya me-revitalisisasi Perpustakaan
Ahmadiyya, dia juga mengorganisasi dan dengan baik hati mendukung
pendidikan di Zaytuna, selain menyumbangkan dalam jumlah buku pada
perpustakaan masjid. Ilmu baru diperkenalkan pada 1896 termasuk fisika,
ekonomi politik dan Bahasa Prancis. Di Al-Zaytuna lah di mana beberapa
tokoh kebudayaan Islam Arab dicetak, di antara mereka yang terkenal
adalah Taufik al-Madani, dan tentu saja termasuk Abdul-Hamid Ibnu Badis
sosok yang mengembalikan identitas Islam di Aljazair pada 1940an.
Para
penguasa memiliki peran yang sangat penting dalam mensuply dan merawat
perpustakaan semacam yang telah dibahas pada paragraf-paragraf
sebelumnya, Al-Manstansiryyah dari Baghdad memiliki perpustakaan yang
sangat kaya yang buku-bukunya dikumpulkan dari perpustakaan pribadi
Kekhalifahan. Di Damaskus, Nuruddin Zangi memberikan koleksi buku-buku
yang sangat banyak kepada perpustakaan-perpustakaan kota. Sementara di
Kairo, al Qadi al-Fadil menghadiahkan sekolah dengan 100,000 volume buku
dengan subjek yang beragam untuk kepentingan para muridnya. Di Maghrib,
Abu Yaqub, pemimpin Almohad, menurut Deverdun: memiliki jiwa yang besar
dan kecintaan yang amat sangat pada koleksi buku-buku, Abu Yaqub
mendirikan perpustakaan yang besar yang dengan perlahan-lahan
dipindahkan ke Kasbah (Aljazair), dan dijadikan perpustakaan umum
dibawah manajemen ilmuwan Marokko. Di Spanyol, Reyes dari Tayfas,
pangeran yang mensuksesi kekhalifahan Umayyad (awal abad ke-11), menjadi
terkenal di antara perpustakaan di Saragossa, Granada, Toledo dan
lokasi lainnya. Sekitar lima puluh tahun sebelumnya, pada wilayah yang
sama Al-Hakam II (349-365 Hijriah / 961-976 Masehi) diperkirakan
memiliki koleksi sekitar 400,000 sampai dengan 600,000 buku. Dia
memperkerjakan para ahli salin dan penjilid buku serta mengirimkan para
agen ke setiap propinsi untuk membeli dan mentranskrip buku-buku
untuknya.
Selain
perpustakaan masjid, pada zaman keemasan Islam, perpustakaan pribadi
juga berkembang. Di bawah kekuasaan Almohad di Marokko pada abad ke-13
terdapat Maktaba Ibnu Tarawa yang terkenal, penulis sejarah amatir
sekaligus penulis manuskrip; Maktaba al-Qaysi dan Maktaba Ibnu Assukur,
pustakawan utama perpustakaan kerajaan, dibutuhkan lima onta penuh untuk
mengangkut semua koleksi buku-bukunya. Khizanat Sabbur dibentuk pada
abad ke-11 oleh Abu Nasir Sabbur bin Ardashir seorang menteri
pemerintahan Buwwahyds di Bahgdad. Perpustakaan Khizanat Sabbur
tercatat sebagai pusatnya orang-orang penting dan terpelajar yang
diantara mereka diskusi seringkali diadakan. Diantara ilmuwan Islam,
tidak ada yang tidak pernah membuahkan buku karyanya sendiri, Shalaby
menyimpulkan bahwa jumlah perpustakaan pribadi yang ada saat itu sama
dengan jumlah orang-orang yang terpelajar yang mencapai ribuan.
Perpustakaan Ibnu al Mutran seorang ahli kedokteran memiliki, menurut
Ibu Abi Usaybi'a, memiliki lebih dari 3,000 volume koleksi; dan
memperkerjakan sekaligus tiga orang ahli salin. Juga di Baghdad pernah
sebuah perpustakaan umum pada abad ke-9 membutuhkan 120 onta untuk
memindahkan koleksinya dari satu tempat ke tempat yang lain.
Aspek
lainnya yang juga mengagumkan dari perpustakaan islam adalah organisasi
dan manajemen mereka; mengagumkan, juga karena saat ini tidak begitu
banyak yang menerapkan. Baik perpustakaan umum maupun pribadi
mengklasifikasi koleksinya dengan memberikan tempat yang berbeda-beda
bahkan kadang-kadang ruangan khusus seperti yang dilakukan di
perpustakaan-perpustakaan Baghdad. Perawatan yang luar biasa, menurut
Olga Pinto, dilakukan karena perpustakaan tersebut diperuntukkan untuk
umum. Beberapa perpustakaan, seperti yang ada di Shiraz, Cordoba dan
Kairo diberikan struktur yang terpisah-pisah dengan banyak ruangan dan
fungsi yang berbeda-beda; ruang galeri dengan rak-rak yang di dalamnya
buku-buku tersimpan, ruangan di mana pengunjung dan belajar dan membaca,
ruang untuk menyalin manuskrip, dan ruang untuk menjilid buku-buku
serta banyak fungsi ruang lainnya. Terdapat katalog yang sangat akurat
dari setiap koleksinya untuk membantu pembaca/pengunjung. Katalog yang
dimaksud tidak seperti yang seperti kita lihat perpustakaan saat ini,
namun terkumpul dalam sebuah buku atau lebih. Untuk satu perpustakaan
pribadi saja saat itu membutuhkan 10 volume buku sebagai katalognya.
Sementara di Andalusia (Spanyol) katalog yang mencakup koleksi di
perpustakaan Al Hakam mencapai 44 volume. Isi dari setiap bagian pada
rak buku juga didaftar pada secarik kertas dan merujuk pada laci di
luarnya (mungkin ini yang lebih mirip dengan katalog manual dibanyak
perpustakaan saat ini); berfungsi untuk menunjukkan koleksi yang tidak
lengkap atau kurang lengkap pada beberapa bagian. Pengkalatogan
manuskrip saat itu adalah hal yang normal, terutama pada perpustakaan
besar dimana katalog dibutuhkan untuk memudahkan temu kembali serta
memberikan kontrol pada pustakawan atas kualitas dan kuantitas koleksi
perpustakaan. Mengutip buku al-Jawza
oleh Ibnu al-Qadi, Al-Fasi menulis bahwa ketika Perpustakaan Kota Fez,
Abu Inan, di dalam Masjid Qarawiyyin didirikan pada 750 hijriah / 1349
Masehi pendirinya, yakni Sultan al- Mutawakkil, menunjuk seorang
pustakawan yang tugas pertamanya mencatat setiap koleksi yang ada di
dalam perpustakaan. Selama penelitiannya di Masjid Qayrawan di Tunisia,
Shabuh menggali sebuah katalog yang disusun pada 693 Hijriah / 1923
Masehi berisi dengan cukup detil mengenai apa-apa saja isi perpustakaan
masjid. Sampai dengan 1370 Hijriah/ 1950 Masehi buku-buku koleksi
perpustakaan Al-Azhar telah mencapai 120,000 volume dan dicatat di dalam
enam puluh volume katalog dengan 3,500 halaman total. Sebuah manuskrip
pada periode keemasan Islam besarnya tidak begitu berbeda dengan
buku-buku saat ini, terbuat dari kertas berkualitas dengan tulisan di
kedua sisinya dan sampul kulit.
Selain
perpustakaan sebagai tempat mengakses buku, masyarakat saat itu dapat
membeli buku pada toko buku setempat. Setiap toko buku normal memiliki
beberapa ratus judul buku, namun toko buku yang besar memiliki lebih
banyak lagi untuk dibeli. Pemilik toko buku yang cukup terkenal, Ibnu
al-Nadim seorang bibliophile
dan penjual buku, memiliki tempat lantai paling atas di bangunan yang
cukup besar di mana pembeli datang untuk melihat manuskrip yang dijual,
menikmati suasana dan bertukar ide.
Al-Fahrist,
katalog buku-buku yang dijual oleh Ibnu Nadim (bisa didapatkan di dalam
toko atau dimana saja yang dapat mengakses toko bukunya), mendaftar
lebih dari enam puluh ribu judul dengan subjek yang sangat luas; bahasa
dan kaligrafi, skrip Yahudi dan Kristiani, Al-Qur'an dan tafsirnya,
linguistik, sejarah dan genealogi (studi tentang keturunan seseorang
atau sekelompok keluarga), terbitan resmi pemerintahan (kekhalifahan),
tata cara pengadilan, puisi-puisi Islam dan sebelum Islam, terbitan dari
sekolah-sekolah Islam, biografi, fiksi populer, travel (India, China
dan Indochina), sihir, subjek umum dan fabel. Bagian pertama dari bab
pertamanya al-Fahrist dikhususkan pada berbagai macam gaya penulisan
termasuk dengan huruf kanji (China), kualitas kertas buku ini
sangat-sangat-sangat bagus sekali.
Masyarakat
dapat juga meminjam buku-buku. Yaqut menyebutkan bahwa dia
diperbolehkan meminjam tidak kurang dua ratus volume tanpa harus
membayar semacam jaminan. Mungkin Yaqut adalah pengecualian dan sangat
jarang terjadi, namun apa yang terjadi menunjukkan bagaimana hasrat yang
luar biasa untuk dapat membaca buku-buku pasa masyarakat Islam di saat
itu. Peminjaman buku biasanya harus sesuai peraturan dan
perundang-undangan yang hampir sama dengan apa yang biasa diterapkan
pada perpustakaan saat ini antara lain ; peminjam harus menjaga dengan
sangat hati-hati koleksi yang mereka pinjam; dilarang mencoret-coret
buku, bila menemui kesalahan tulis misalnya diharapkan untuk
melaporkannya kepada pustakawan; serta mengembalikan buku paling lama
sampai tanggal yang ditentukan. Perpustakaan masjid memiliki
peraturannya sendiri dalam meminjamkan buku, tentu saja namanya saja
menempel dengan masjid, namun yang membedakan dengan perpustakaan lain
adalah di perpustakaan masjid anda dapat menemukan bagian khusus untuk
pembacanya. Perpustakaan masjid yang besar secara khusus memberikan
tempat yang nyaman bagi pemakainya tidak hanya untuk membaca namun juga
untuk menulis. Ruangan tersebut didisain dengan cahaya yang memadai,
ruang yang nyaman dengan karpet, mat dan matras duduk. Sultan
al-Mutawakkil, lagi-lagi, bahkan memerintahkan untuk membangun sebuah
tempat khusus untuk pembaca perpustakaan dinamakan `zawiyat qurra' yang dihiasi dengan perlengapan serta furnitur yang elegan.
Sudah
menjadi kebiasaan untuk menunjuk seorang pustakawan dalam
bertanggung-jawab dengan urusan perpustakaan. Tugas semacam ini hanya
untuk orang-orang yang paling terpelajar untuk menjadi penanggung jawab
perpustakaan. Manajemen perpustakaan almohand, menurut Ibnu Farhun,
adalah salah satu posisi di pemerintahan yang sangat menguntungkan, yang
diambil dari ilmuwan yang terbaik. Al Tazi, ditunjuk menjadi pustakawan
yang mana dipilih dari antara orang terpelajar dan terbaik dalam
masyarakat. Perpustakaan Masjid Agung Aleppo, Sufiya, memiliki Muhammad
al-Qasarani sebagai pustakawannnya, al Qasarani adalah seorang pujangga
dan memiliki pengetahuan yang mendalam pada sastra, geometri,
aritmatika, dan astronomi. Orang-orang seperti ini, menurut Mackensen,
sangat bangga dapat ditunjuk sebagai pustakawan. It speaks highly for
the generosity of the patrons as well as for the really important work
carried out in these libraries that men of marked ability in various
fields felt it worth their while to undertake the duties of custodian.
Kesimpulan
Kecintaan
Islam pada ilmu pengetahuan menaikkan posisi penulis dan ilmuwan,
evolusi industri penerbitan adalah hasil dari kembangkitan Islam di masa
lalu. Dalam seratus tahun setelah kebangkitan Islam, Industri buku yang
terintegrasi dan sangat kompleks berkembang di dalam Dunia Islam.
Tekhnik industri buku mengalami pengembangan dalam setiap tahapnya :
komposisi, penyalinan, penambahan ilustrasi, penjilidan, penerbitan,
penyimpanan dan penjulannya. Membaca buku atau sekaligus mendengar buku
ketika sedang didiktekan menjadi salah satu pekerjaan yang sangat
penting saat itu. Dalam beberapa kota besar seperti Baghdad dan Damaskus
hampir setengah dari penduduknya terlibat dalam industri buku dan
penerbitan. Bagaimanapun, produksi buku adalah industri sekaligus
sebagai institusi, sebuah institusi dengan praktek dan kebiasaannya
sendiri, memiliki kontrol penuh atas pemalsuan dan salah penterjemahaan,
di atas itu semua, adalah institusi yang menjamin pendidikan dan buku
bukan menjadi hak preogratif dari segelintir orang saja, namun terbuka
untuk siapa saja yang berkeinginan maju. Institusi ini juga menjamin
para ilmuwan dan pengarang buku secara ekonomi dan diakui nama mereka
dalam karya-karya yang mereka telurkan.
Kebutuhan
akan literatur yang tinggi dari populasi oang-orang yang sangat
terpelajar, kemampuan menggandakan manuskrip, permintaan yang sangat
banyak dari institusi pendidikan pada akhirnyalah yang menstimulis
industri buku. Dalam dua ratus tahun sepemeninggalnya Rasulullah Sallahu 'Alaihi Wasallam
Industri buku dapat ditemukan hampir pada setiap sudut Dunia Muslim.
Memang, seluruh peradaban Islam berotasi di sekitar buku. Perpustakaan,
baik itu milik kerajaan, umum, khusus maupun pribadi, menjadi hal yang
sangat biasa; toko buku ditemukan hampir di mana saja dari yang kecil,
menempel pada masjid, di pusat kota, pusat toko buku, bahkan sampai
menyempil sendirian dalam sebuah pasar; dan tentu saja orang-orang yang
terlibat di dalam industri buku (dari pengarang, penerjemah, penyalin
buku, ahli tafsir, pustakawan sampai penjual buku juga kolektor) yang
datang dari semua kelas di masyarakat, dengan berbagai kebangsaan dan
etnis serta latar belakang, bersaing dalam arti yang positif dalam
memproduksi dan mendistribusikan buku-buku.
Digunakannya
kertas bukannya papirus atau kulit sapi dan domba (parchment)
menjadikan buku-buku sangat murah. Pemakaian kertas juga akhirnya
memberikan efek yang luarbiasa pada waktunya ketika pembuatan kertas
diserap oleh barat. Orang-orang Eropa pada masa abad pertengahan masih
menggunakan parchment, karena biayanya yang sangat mahal maka
menimbulkan masalah ketika harus digandakan. Keuntungan lainnya akan
kertas adalah, karena murahnya biaya produksi, penyebaran dan pergerakan
yang demikian luasnya atas ilmu pengetahuan. Karena itu, sebagaimana
yang Pedersen simpulkan, dengan memproduksi kertas dalam skala besar,
orang-orang islam mencapai kemampuan yang sangat luar biasa yang tidak
dapar dipandang sebelah mata tidak hanya dalam sejarah buku-buku di
Dunia Islam namun seluruh dunia. (Sumber:http://abhicom2001.multiply.com/journal/item/183/Ilmu-Pengetahuan-Institusi-Pendidikan-dan-Perpustakaan-dalam-Islam-Penerbitan-Buku-dan-Pembuatan-Kertas?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem)
Foto 1 Ilustrasi al-Azhar, foto diambil dari library.wustle.edu
Foto 2 Gedung Perpustakaan saat ini, lokasi tidak diketahui diambil dari sini
Foto 3
The mosque of Touba, center of the Mouride brotherhood, of which
President Wade is a member. The picture is taken from outside a
very important Islamic library and center of learning. Sumber foto
dari sini
Kata kunci: abhiklik, terjemahan bebas
Sebelumnya: Ketika Perpustakaan adalah "Rumah Bijak"Selanjutnya : The Fate of Manuscripts in Iraq and Elsewhere : Nasib Manuskrip Irak dan tempat lainnya
No comments:
Post a Comment
Masukan dan Nasihat dari Sobat Pustaka adalah apresiasi untuk kami.