selamat datang **** sugeng rawuh **** ahlan wa sahlan **** http://www.facebook.com/pustakawankaranganyar **** deche.ygo@gmail.com

Friday 5 October 2012

Ilmu Pengetahuan, Institusi Pendidikan, dan Perpustakaan dalam Islam : Penerbitan Buku dan Pembuatan Kertas




Sardar dan Davies menulis dalam bukunya "Distorted Imagination" : Pesatnya industri penerbitan buku di Dunia Barat benar-benar sangat mengagumkan dan pastinya juga sangat berharga. Namun pencapaian mereka terkini tidak dapat menyamai kehebatan, kompleksitasnya dan luasnya penyebaran publikasi yang pernah berkembang pada peradaban Dunia Islam sekitar abad ke delapan. Hampir seribu tahun kemudian baru akhirnya jumlah buku yang diterbitkan oleh Dunia Barat menyamai jumal buku yang Dunia Muslim pernah terbitkan sebelumnya. Industri publikasi yang demikian pesatnya kala itu masih berjalan ketika barat mulai mengakupasi tanah-tanah Orang Islam, namun secara sistematis dihancurkan oleh kekuatan kolonial, bersama-sama dengan sistem pendidikan dan kesehatan serta intitusi kebudayaan muslim lainnya. (Z. Sardar and M.W. Davies: Distorted Imagination; London: Grey Seal Books, 1990, pp. 96-7 )
Dunia Islam tidak melulu seperti apa yang kita saksikan saat ini. Sekitar sepuluh abad lampau, seperti yang pernah digambarkan oleh Scott (S. P. Scott: History of the Moorish Empire in Europe; Philadelphia and London: J. B. Lippincott Company, 1904, vol 3; p. 522.) : "Perbedaan yang sangat antara dunia intelektual masyarakat Islam dan Kristen sangat mencolok terlihat. Perpustakaan Monstandir, Sultan penguasa Mesir, memiliki delapan puluh ribu volume buku, sementara itu perpustakaan Fathimiyyah di Kairo, sejuta volume; dan di Tripoli, dua ratus ribu volume. Ketika Bangsa Mongol menghancurkan Baghdad di Abad ke tiga belas buku-buku yang dibuang ke dalam sungai Tigris, yang lebarnya kira-kira 400 meter, sampai menutupi permukaannya dan membuat aliran sungainya menjadi hitam akibat tinta-tinta yang luntur. Sementara sisanya yang tidak terbuang ke dalam sungai ikut hancur dimakan api bersama dibakarnya gedung-gedung perpustakaan di Baghdad. Kembali ke perpustakaan peradaban Islam; Jumlah perpustakaan umum ketika Andalusia, Spanyol masih dikuasai kekhalifahan Islam adalah tujuh puluh dengan masing-masing perpustakaan memiliki koleksi buku yang sangat besar. Ibnu al Matharan dokter pribadinya Salahuddin bahkan memiliki sekitar sepuluh ribuan manuskrip, di dalam rak bukunya Dunasch Ben Tamin seorang Yahudi dan ahli bedah terkenal di Kairo terdapat dua puluh ribuan manuskrip. Empat abad kemudian pada Dunia Barat, tidak termasuk koleksi di dalam biara-biara, perpustakaan Kerajaan Prancis memiliki sembilan ratus volume, yang mana dua pertiganya buku-buku teologi; dengan subjek yang terbatas pada tata-cara seremoni keagamaan, keajaiban orang-orang suci, tugas dan kewajiban petinggi-petinggi gereja".
Mackensen dan Pinto (O. Pinto: `The Libraries of the Arabs during the time of the Abbasids,' in Islamic Culture 3 (1929), pp. 211-43) menulis secara mendalam tentang perpustakaan Islam pada masa keemasaannya dengan mengkhususkan peran dan posisi mereka pada peradaban Muslim. Demikan meluasnya koleksi perpustakaan umum hingga saat itu hampir-hampir tidak mungkin menemukan masjid atau institusi pendidikan atau sejenisnya sepanjang kekhalifahan Muslim tanpa melihat buku-buku yang disusun rapih pada ruang baca (A. Shalaby: History of Muslim Education: Dar Al Kashaf; Beirut; 1954; p 95). Baghdad, misalnya, sebelum penaklukan oleh Bangsa Mongol, memiliki tiga puluh enam perpustakaan umum dan lebih dari seratus toko buku, yang beberapanya juga sekaligus sebagai penerbit dan memperkerjakaan sejumlah penyalin buku/manuskrip (saat itu belum ditemukan mesin cetak untuk menggandakan buku-buku hingga tugas penggandaan dilakukan dengan menulis kembali oleh penyalin). (J.W. Thompson: The Medieval library, Hafner Publishing Co., 1957, p. 351). Di Merw, Persia Timur, sekitar 612-614 Hijirah atau 1216-1218 Masehi, terdapat sepuluh perpustakaan, dua diantaranya terdapat di masjid agung dan sisanya terletak di sekolah-sekolah atau saat itu dikenal dengan madrasah (Yaqut: Mu'jam in J. Pedersen, The Arabic Book, translated by G. French, Princeton-New Jersey: Princeton University Press, 1984, p. 128). Sedangkan di Marrakesh (Marrakech) Barat Daya Maroko, sebuah masjid dinamakan Kutubya karena sekitar dua ratus "kutubiya" atau penjual buku berkumpul di sekitar masjid yang dibangun oleh penguasa dinasti Almohad; Abdul al Mumin (R. Landau: Morocco: Elek Books Ltd, London 1967. p.80). Di Spanyol saja, saat Islam berkuasa, memiliki tujuh puluh perpustakaan umum (G. Le Bon: "La Civilisation des Arabes", IMAG, Syracuse, 1884, p. 343). Banyak lagi perpustakaan-perpustakaan serupa yang terdapat di Kairo, Aleppo dan kota-kota besar Iran, Asia Tengah dan Mesopotamia (Z. Sardar and M.W. Davies: Distorted Imagination; op cit; pp. 101). Abdul al-Daula pada 372 Hijirah / 983 Masehi membangun perpustakaan di Shiraz, yang digambarkan oleh al-Muqqadasi sebagai berikut :
Sebuah komplek dengan bangunan-bangunan yang dikelilingi taman, danau-danau dan jalur air. Gedung-gedung tersebut beratapkan kubah, total memiliki 360 ruangan. Dalam setiap ruangan katalog ditempatkan dalam rak-rak dan setiap ruangan dihiasi dengan karpet. (Al-Muqaddasi, Shams Al-Din Mohammad Ibn Ahmad, Kitab Ahsan al-taqasim fi ma'rifat al-aqalim, edited by M.J. de Goeje, 1877, 2nd edition, 1906, p. 449)
Sebagai tambahan perpustakaan pusat milik kekhalifahan, terdapat jaringan sangat luas dari perpustakaan umum di banyak kota besar, dan koleksi buku-buku perpustakaan khusus yang sangat prestisius dimana menarik orang-orang berpendidikan dari pelbagai penjuru Dunia Islam (Z. Sardar and M.W. Davies: Distorted Imagination; op cit; pp. 101). Tertulis dalam perpustakaan Muslim Spanyol, dan dikutip oleh Scott :
"Perpustakaan tidak bisa disingkirkan dari salah satu faktor yang mengkrotibusikan pencerahan kepada publik dan pembentukan formasi karakter nasional. Tidak ada kota-kota yang besar dan penting tanpa ada paling tidak satu perpustakaan utama di dalamnya. Rak-rak perpustakaan terbuka untuk semua pemakainya. Katalog memfasilitasi eksaminasi koleksi dan klasifikasi dari pelbagai subjek. Banyak volume yang dihiasi dengan perhiasan yang menakjubkan dan sangat indah; dan yang paling berharga adalah volume dengan hiasan kulit dan aroma kayu yang menyegarkan; beberapa koleksi berharga lainnya bahkan dilapisi dengan emas dan perak. Di sini (perpustakaan) dapat kita temukan apa saja yang telah dipelajari di masa lalu dan penelitian yang tengah dilakukan serta penemuan-penemuan terbaru saat itu. Filosofi Yunani, astronomi Babilonia, sains Aleksandria serta hasil pengamatan panjang juga eksperiman dari atas menara observasi bintang dan laborotorium kota Cordoba serta Seville (Al-Muqaddasi, Shams Al-Din Mohammad Ibn Ahmad, Kitab Ahsan al-taqasim fi ma'rifat al-aqalim, edited by M.J. de Goeje, 1877, 2nd edition, 1906, p. 449).
Masjid adalah pusat dari aktivitas intelektual dan medium penyebaran buku. Di dalam masjid, selain menjadi tempat beribadah, penulis dan orang-orang berpendidikan menularkan apa yang telah mereka pelajari kepada anak-anak muda, tidak hanya pemuda dan pelajar tapi juga ilmuwan atau pekerja profesional biasa diterima di sini, dalam aktivitas ilmiah sudah menjadi kebiasaan bahwa semua orang, apapun dia, dapat ikut serta dalam diskusi (Z. Sardar and M.W. Davies: Distorted Imagination; op cit; pp. 97). Aktivitas intelektual yang demikian semakin mengembangkan penyebaran buku melalui masjid-masjid, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sardar dan Davies :
Ketika seorang penulis berkeinginan untuk menerbitikan karyanya, pertama-tama dia akan menulis catatan-catatan, dan kemudian menulis manuskrip asli (asl) yang pada awalnya disebut "draft" (muswadda). Walaupun bentuk muswadda sudah memiliki isi yang cukup mendalam namun kenyataanya belum bisa diterbitkan. Dalam kosa kata Arab, untuk menerbitkan, kata yang dipakai adalah kharajja berarti "melepaskan" (let (it) go out) atau "keluar" (Come out) atau "diterbitkan" (be published). Karena belum bisa diterbitkan, seorang penulis perlu untuk mempresentasikan karyanya kepada publik lebih dahulu, yang dilakukan di masjid dengan cara membacanya atau mendiktekannya.
Para ilmuwan biasanya akan mendiktekan banyak sekali karyanya di dalam masjid di mana masyarakat umum berkumpul untuk mendengarkan mereka dan profesional warraqs (ahli penyalin buku/manuskrip) akan mengubah apa yang telah didiktekan menjadi buku. Walaupun buku tersebut adalah buku pesanan yang dibayar khusus mereka tetap akan menerbitkan buku-bukunnya dengan cara yang seperti telah dijelaskan di atas. Seperti misalnya, al-Farra seorang ahli Filologi yang cukup dikenal pada abad ke sembilan, pernah diminta oleh salah seorang sahabatnya untuk menulis buku yang dapat membimbingnya dalam mengerti Al-Qur'an, sehingga sahabatnya itu tidak akan merasa malu bila ditanyakan satu atau dua hal mengenai apa yang ada di dalam Al-Qur'an oleh seorang Emir yang berhubungan erat dengannya. Al-Farra, yang tinggal di Baghdad, setuju untuk menuliskannya, juga mengumumkan untuk mendiktekan buku tersebut di masjid, dan dengan cara itulah buku tersebut diterbitkan (Z. Sardar and M.W. Davis: Distorted Imagination; op cit; pp. 98 ).
Salah satu peran utama Masjid lainnya adalah menjadi: perpustakaan. Salah satu tradisi yang mengesankan hidup di saat itu adalah kebiasaan mereka untuk menyumbangkan manuskrip dan buku-buku milik mereka kepada masjid, tidak hanya satu atau dua buku, namun terkadang sampai ribuan volume. Pedersen menjelaskan bahwa sejak awal masjid tidak hanya ditujukan semata untuk tempat ritual beibadah, namun juga sebagai sekolah dan tempat untuk belajar. Hingga sepertinya normal saja bila saat itu masyarakat Muslim memiliki kebiasaan untuk memberikan buku-buku kepada masjid. Hingga akhirnya dari sekian banyak buku-buku yang disumbangakan kepada masjid membentuk perpustakaan atau darul kutub disamping menjadi masjid itu sendiri. (J. Pedersen: The Arabic Book, op cit, p. 126 ). Sepanjang daerah yang dikuasai orang-orang Islam, dari Atlantik sampai Padang Pasir di Persia bahkan sejauh mata memandang. Muslim memandang masjid sebagai surga penyimpanan buku-buku mereka yang paling berharga sehingga dengan jumlah yang tidak kira-kira mereka dengan rela menyumbangkan buku. Di Al-Qayrawan, manuskrip-manuskrip dihadiahkan kepada para murid dari mereka yang mencari ridho Allah SWT, kebiasaan tersebut banyak direkam dalam banyak manuskrip. (M. Al-Rammah: The Ancient Library of Kairaouan and its methods of conservation, in The Conservationand preservation of Islamic manuscripts, Proceedings of the Third Conference of Al-Furqan Islamic Heritage Foundation, 1995, p. 32). Serupa dengan al-Zaidi yang membangun masjid dan perpustakaan yang namanya diambil dari milik pembangunnya, yakni al-Zaidi sendiri. Sebelum ajal menjemputnya al-Zaidi menyumbangkan semua koleksi miliknya kepada setiap murid dan pencari ilmu pengetahuan (Al-Hadarah (periodical) No 33, p. 8, quoted by G.Awad: Khawazin al-Kutub, p. 231 in A. Shalaby: History, op cit, p. 100.[19] M. Sibai: Mosque Libraries: An Historical Study: Mansell Publishing Limited: London and New York: 1987. p 92). Al-Jaburi melaporkan bahwa Naila Khatun, seorang janda kaya berasal dari Turki, mendirikan masjid untuk mengenang suaminya, Murad Afandi. Naila menempelkan masjid yang dibangunnya dengan madrasah dan perpustakaan, yang koleksinya dilaporkan berisi buku dan manuskrip berharga, semuanya ditanggung dari kantong Naila sendiri. Di Aleppo, perpustakaan masjid terbesar dan mungkin juga tertua yakni: Sufiya, terletak di Masjid Agung Kekhalifahan Umayyad. Memiliki jumlah koleksi yang sangat besar, dan sekitar 10.000 di antaranya disumbangkan oleh salah satu penguasanyanya yang sangat terkenal, Pangeran Sayf al-Dawla. Para ilmuwan mengikuti juga jejak yang serupa. Di Irak, Masjid Abu Hanifa memiliki perpustakaan yang menawan hasil dari sumbangan-sumbangan perpustakaan milik pribadi yang ada disekitarnya. Diantara penyumbangnya adalah seorang dokter, Yahia Ibn Jazla pada 493 Hijriah / 1099 Masehi, juga penulis sejarah al-Zamakhshari pada 538 Hijriah / 1143 Masehi. Al-Fasi mencatat pada 955 Hijirah / 1548 Masehi, seorang guru dari Qarawiyyin yakni Abu Adbdullah Muhhamad al-Ajmawi, menyumbangkan karya besarnya berjudul al-Qawl al-Mutabar kepada murid-murid di masjid (A al-Fasi: `Khizanat al Qarawiyyin wa nawadiruha,' Majallat Mahad al-Makhtutat al-Arabiya 5 (May 1959): 3-16. p. 9), dan Ibu Khaldun menyumbangkan kepada perpustakaan masjid yang sama kitab karya-nya berjudul al-Ibar, agar dapat dipinjamkan hanya kepada orang-orang yang dapat dipercaya selama dua bulan (W. Heffening; J.D. Pearson: maktba; Encyclopaedia of Islam, vol VI, pp. 197-200; at p. 199) . Tiga orang ilmuwan, salah satunya Yaqut, mendelegasikan koleksi buku dan manuskrip mereka sebagai wakaf kepada perpustakaan masjid (Ibn al-Imad: Shaderat al-dahab, v: 122, in A. Shalaby: History, op cit, p. 101). Kebiasaan ini biasanya dilakukan oleh para ilmuwan saat itu atas rasa syukur mereka terhadap perpustakaan masjid atas dukungan dan dukungannya.
Berdasarkan observasinya Mackensen menulis tentang kebiasaan memberi hadiah kepada perpustakaan masjid :
"Buku-buku dihadiahkan, dan banyak ilmuwan yang mempersembahkan koleksi perpustakaan pribadinya kepada masjid kotanya sebagai preservasi dan membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin mempelajari dan memanfaatkanya hingga berkali-kali. Sehingga membesarlah universitas-universitas besar di Kordoba dan Toledo dimana menarik banyak minat baik Muslim maupun Orang Kristen dari seluruh dunia, hal yang serupa pula membesarkan al-Azhar di Kairo, yang setelah ribuan tahun masih menjadi lembaga pendidikan terkenal dalam Dunia Islam sampai saat ini. (R. Mackensen. "Background of the History of Muslim libraries", The American Journal of Semitic languages and literatures, 51 (January 1935), p 123).
Umumnya masjid-masjid memang memiliki perpustakaan tetapi kebanyakan perpustakaan yang mereka miliki cukup sederhana. Namun, beberapa lainnya memiliki koleksi yang sangat kaya termasuk koleksi langka dan tidak ternilai. Banyak karya ilmiah yang juga termasuk dalam koleksi untuk disimpan di dalam masjid, menurut Sibai karya-karya ilmiah tersebut adalah karena ekspresi rasa syukur para ilmuwan karena dijamin kehidupannya (secara materi) termasuk akomodasi gratis dan alat-alat tulis atau apa saja yang dibutuhkan dalam mereka menulis karya-karyanya. Benar, memang saat itu adalah hal yang biasa masjid menjadi tempat persinggahan dan berteduh ilmuwan yang sedang dalam berpergian. Al-Ghazali dan al-Baghdadi misalnya pernah tinggal dalam periode waktu tertentu di atas sebuah minaret (menara) Masjid Ummayad di Damaskus. Sementara, Ibnu al-Haytam kabarnya pernah tinggal dalam waktu yang cukup lama di dalam kubah di atas salah satu pintu masuk utama Masjid Al-Azhar. Yaqut, misalnya, pada saat kematiannya di 627 Hijriah / 1229 Masehi mewariskan buku-buku milikinya sebagai wakaf kepada Masjid Zaydi beralamatkan di Jalan Dinar, Baghdad. Kisah yang sama juga dilakukan oleh al-Baghdadi. Masjid Al Aqsa di Palestina, tempat suci ketiga setelah Makkah dan Madinah, memiliki empat buah perpustakaan. Masji Al-Aqsa Memiliki beberapa koleksi buku pada Madrasah Nahawiyya dan Ashrafyia, dan sebuah perpustakaan pada madsarah yang paling bergengsi; Madrasah Farisiyya. Disamping Masjid Al-Aqsa berdiri Masjid Umar yang dibangun ketika Khekhalifahan Umar Ibnu al-Khattab berkuasa (12-23 Hijriah / 634 – 644 Hijriah). Madrasah Farisiya berkembang pesat menjadi sebuah akademi yang penting untuk pendidikan agama dan para ilmuwan menimba ilmu termasuk juga koleksi buku yang sangat besar tersebar di dalam empat madrasah Masjid al-Aqsa. Salah satu madrasah yang cukup penting adalah Madrasah Nassiryia, didirikan oleh Nasir al-Maqdisi (505 Hijriah / 1111 Masehi) juga dikenal dengan Ghazzaliya sebagai penghargaan terhadap filsuf terkenal al-Ghazali. Al-Ghazali mengasingkan dirinya di Madrasah Nassiryia hingga menyelesaikan karya besarnya "Al-ihya ulum addin".
Masjid Ibnu Tulun di Kairo kuno, secara perlahan-lahan menjadi salah satu pusat pendidikan tinggi di Kairo, dan Ibrahim mengamati bahwa perpustakaan di masjid ini menyimpan banyak karya terkenal yang berhubungan dengan kedokteran.
Khalifah Qarawiyyin di Fes memiliki tiga pepustakaan yang terpisah, yang paling terkenal adalah Perpustakaan Abu Inan juga dikenal dengan Perpustakaan Ilmya, yang mana bangunan aslinya sampai sekarang masih berdiri. Didirikan oleh Sultan kekhalifahan Merinid, al-Mutawakkil Abu Inan, pada 750 Hijriah / 1349 Masehi. Perpustakaan ini dapat diginakan oleh siapa saja, termasuk masyarakat biasa ataupun pelajar. Seorang pembaca buku yang bersemangat sekaligus kolektor, Sultan menyumbangkan buku-buku dan bermacam-macam benda untuk perpustakaan barunya termasuk di dalamnya subjek mengenai agama, sains, intelletualitas dan bahasa, Sultan juga menunjuk seorang pustakawan untuk mengurus segala sesuatunya atas perpustakaan tersebut. Kota Marokko lainnya juga memiliki perpustakaan dengan jumlah besar koleksi buku pada masjidnya. Pedersen merujuk pada manuskrip dengan jumlah yang sangat banyak ditemukan pada Masjid Zaytuna di Tunisia, Masjid Tlemcen di Aljazair dan Masjid Rabat di Marokko.
Perpustakaan Zaytuna di Tunisia, adalah yang paling kaya di antara lainnya. Memiliki beberapa bagian koleksi yang bila beberapa bagian itu dijumlah total semuanya akan mencapai ribuan koleksi. Saat itu kebanyakan pemimpin dari dinasti kekhalifahan Hafsid saling berkompetisi satu sama lainnya untuk menjadi pemimpin yang paling prestisius dalam merawat dan memperbesar koleksi buku pada perpustakaan Masjid; yang mana pernah pada suatu masa salah satu pimpinan mereka koleksi buku mencapai jumlah 100,000 volume.
Masih di Tunisia, di Al-Qayrawan tepatnya, masjid agungnya menyimpan warisan intektual terbaik bahkan terhebat dan juga kenangan dari para ilmuwan melalui bukku-buku dan dokumentasi yang mereka tulis dengan tangan ilmuwan itu sendiri, atau setidaknya tangan orang lain menulis buah fikir mereka. Koleksi manuskrip yang sangat kaya dan dikumpulkan pada Masjid Universitas al-Qayrawan memiliki usia setua masa Aghlabid (abad ke-9 Masehi). Dokumen-dokumen tersebut antara lain berisi tentang data kebudayaan unik mengenai kurikulum yang digunakan oleh masjid agung dalam pendidikannya saat itu. Koleksi-koleksi yang berada pada perpustakaan kuno Al-Qayrawan sebagian besar berbentuk parchment (medium untuk menulis yang terbuat dari kulit sapi atau domba), juga dikenal sebagai koleksi terbesar dan terbaik di sepanjang Dunia Islam Arab. Perpustakaan masjid juga memiliki koleksi saintifik dalam jumlah besar, dan manuskrip yang tidak pernah dibayangakan oleh kebanyakan manusia dapat mereka miliki. Nama Abdul Wahab ditemukan pada Perpustakaan Atika kota Qayrawan dalam buku Umam al-Qadima (Sejarah Bangsa-Bangsa Kuno) adalah terjemahan dalam Bahasa Arab dari tulisan Saint Gerome pada suatu masa sebelum kematiannya di 420 Masehi. Juga, pada beberapa Perpustakaan Masjid, Nama Abdul Wahab yang sama kembali muncul atas terjemahan dari Bahasa Latin karya Plyni (Gaius Plinius Secundus) seorang ahli botani pada zaman Romawi. Masjid Ahmad di Tanta (Mesir) memiliki koleksi manuskrip dengan 25 subjek berbeda antara lain di dalamnya terdapat subjek mengenai kedokteran, aritmatika, aljabar dan seni membuat warna dengan cairan-cairan tertentu.
Kota Zaytuna memiliki sebuah perpustakaan bernama al-Abdaliyah yang memiliki dalam jumlah besar koleksi manuskrip langka, tentu saja hal itu menarik banyak orang dari pelbagai lokasi untuk mempelajarinya. Ketika orang-orang Spanyol menaklukan Tunisia antara 940 dan 981 Hijirah / 1534 dan 1574 Masehi, mereka menjarah Masjid-Masjid dan perpustakaan di sana, serta mengambil banyak dari koleksi buku dan manusktip perpustakaan yang sangat berharga. Kekhalifahan Turki (Utsmaniyah) yang merebut kembali Tunisia dari tangan orang-orang Spanyol memperbaiki kembali bahkan juga memperbesar Masjid Zaytuna, perpustakaan dan juga madrasahnya. Usaha yang dilakukan oleh Kekhalifahan Utsmaniyah itu membuat Masjid Zaytuna kembali menjadi pusat kebudayaan Islam. Bangsawan Turki (Bey), Ahmad Pasha I, tidak hanya me-revitalisisasi Perpustakaan Ahmadiyya, dia juga mengorganisasi dan dengan baik hati mendukung pendidikan di Zaytuna, selain menyumbangkan dalam jumlah buku pada perpustakaan masjid. Ilmu baru diperkenalkan pada 1896 termasuk fisika, ekonomi politik dan Bahasa Prancis. Di Al-Zaytuna lah di mana beberapa tokoh kebudayaan Islam Arab dicetak, di antara mereka yang terkenal adalah Taufik al-Madani, dan tentu saja termasuk Abdul-Hamid Ibnu Badis sosok yang mengembalikan identitas Islam di Aljazair pada 1940an.
Para penguasa memiliki peran yang sangat penting dalam mensuply dan merawat perpustakaan semacam yang telah dibahas pada paragraf-paragraf sebelumnya, Al-Manstansiryyah dari Baghdad memiliki perpustakaan yang sangat kaya yang buku-bukunya dikumpulkan dari perpustakaan pribadi Kekhalifahan. Di Damaskus, Nuruddin Zangi memberikan koleksi buku-buku yang sangat banyak kepada perpustakaan-perpustakaan kota. Sementara di Kairo, al Qadi al-Fadil menghadiahkan sekolah dengan 100,000 volume buku dengan subjek yang beragam untuk kepentingan para muridnya. Di Maghrib, Abu Yaqub, pemimpin Almohad, menurut Deverdun: memiliki jiwa yang besar dan kecintaan yang amat sangat pada koleksi buku-buku, Abu Yaqub mendirikan perpustakaan yang besar yang dengan perlahan-lahan dipindahkan ke Kasbah (Aljazair), dan dijadikan perpustakaan umum dibawah manajemen ilmuwan Marokko. Di Spanyol, Reyes dari Tayfas, pangeran yang mensuksesi kekhalifahan Umayyad (awal abad ke-11), menjadi terkenal di antara perpustakaan di Saragossa, Granada, Toledo dan lokasi lainnya. Sekitar lima puluh tahun sebelumnya, pada wilayah yang sama Al-Hakam II (349-365 Hijriah / 961-976 Masehi) diperkirakan memiliki koleksi sekitar 400,000 sampai dengan 600,000 buku. Dia memperkerjakan para ahli salin dan penjilid buku serta mengirimkan para agen ke setiap propinsi untuk membeli dan mentranskrip buku-buku untuknya.
Selain perpustakaan masjid, pada zaman keemasan Islam, perpustakaan pribadi juga berkembang. Di bawah kekuasaan Almohad di Marokko pada abad ke-13 terdapat Maktaba Ibnu Tarawa yang terkenal, penulis sejarah amatir sekaligus penulis manuskrip; Maktaba al-Qaysi dan Maktaba Ibnu Assukur, pustakawan utama perpustakaan kerajaan, dibutuhkan lima onta penuh untuk mengangkut semua koleksi buku-bukunya. Khizanat Sabbur dibentuk pada abad ke-11 oleh Abu Nasir Sabbur bin Ardashir seorang menteri pemerintahan Buwwahyds di Bahgdad. Perpustakaan Khizanat Sabbur tercatat sebagai pusatnya orang-orang penting dan terpelajar yang diantara mereka diskusi seringkali diadakan. Diantara ilmuwan Islam, tidak ada yang tidak pernah membuahkan buku karyanya sendiri, Shalaby menyimpulkan bahwa jumlah perpustakaan pribadi yang ada saat itu sama dengan jumlah orang-orang yang terpelajar yang mencapai ribuan. Perpustakaan Ibnu al Mutran seorang ahli kedokteran memiliki, menurut Ibu Abi Usaybi'a, memiliki lebih dari 3,000 volume koleksi; dan memperkerjakan sekaligus tiga orang ahli salin. Juga di Baghdad pernah sebuah perpustakaan umum pada abad ke-9 membutuhkan 120 onta untuk memindahkan koleksinya dari satu tempat ke tempat yang lain.
Aspek lainnya yang juga mengagumkan dari perpustakaan islam adalah organisasi dan manajemen mereka; mengagumkan, juga karena saat ini tidak begitu banyak yang menerapkan. Baik perpustakaan umum maupun pribadi mengklasifikasi koleksinya dengan memberikan tempat yang berbeda-beda bahkan kadang-kadang ruangan khusus seperti yang dilakukan di perpustakaan-perpustakaan Baghdad. Perawatan yang luar biasa, menurut Olga Pinto, dilakukan karena perpustakaan tersebut diperuntukkan untuk umum. Beberapa perpustakaan, seperti yang ada di Shiraz, Cordoba dan Kairo diberikan struktur yang terpisah-pisah dengan banyak ruangan dan fungsi yang berbeda-beda; ruang galeri dengan rak-rak yang di dalamnya buku-buku tersimpan, ruangan di mana pengunjung dan belajar dan membaca, ruang untuk menyalin manuskrip, dan ruang untuk menjilid buku-buku serta banyak fungsi ruang lainnya. Terdapat katalog yang sangat akurat dari setiap koleksinya untuk membantu pembaca/pengunjung. Katalog yang dimaksud tidak seperti yang seperti kita lihat perpustakaan saat ini, namun terkumpul dalam sebuah buku atau lebih. Untuk satu perpustakaan pribadi saja saat itu membutuhkan 10 volume buku sebagai katalognya. Sementara di Andalusia (Spanyol) katalog yang mencakup koleksi di perpustakaan Al Hakam mencapai 44 volume. Isi dari setiap bagian pada rak buku juga didaftar pada secarik kertas dan merujuk pada laci di luarnya (mungkin ini yang lebih mirip dengan katalog manual dibanyak perpustakaan saat ini); berfungsi untuk menunjukkan koleksi yang tidak lengkap atau kurang lengkap pada beberapa bagian. Pengkalatogan manuskrip saat itu adalah hal yang normal, terutama pada perpustakaan besar dimana katalog dibutuhkan untuk memudahkan temu kembali serta memberikan kontrol pada pustakawan atas kualitas dan kuantitas koleksi perpustakaan. Mengutip buku al-Jawza oleh Ibnu al-Qadi, Al-Fasi menulis bahwa ketika Perpustakaan Kota Fez, Abu Inan, di dalam Masjid Qarawiyyin didirikan pada 750 hijriah / 1349 Masehi pendirinya, yakni Sultan al- Mutawakkil, menunjuk seorang pustakawan yang tugas pertamanya mencatat setiap koleksi yang ada di dalam perpustakaan. Selama penelitiannya di Masjid Qayrawan di Tunisia, Shabuh menggali sebuah katalog yang disusun pada 693 Hijriah / 1923 Masehi berisi dengan cukup detil mengenai apa-apa saja isi perpustakaan masjid. Sampai dengan 1370 Hijriah/ 1950 Masehi buku-buku koleksi perpustakaan Al-Azhar telah mencapai 120,000 volume dan dicatat di dalam enam puluh volume katalog dengan 3,500 halaman total. Sebuah manuskrip pada periode keemasan Islam besarnya tidak begitu berbeda dengan buku-buku saat ini, terbuat dari kertas berkualitas dengan tulisan di kedua sisinya dan sampul kulit.
Selain perpustakaan sebagai tempat mengakses buku, masyarakat saat itu dapat membeli buku pada toko buku setempat. Setiap toko buku normal memiliki beberapa ratus judul buku, namun toko buku yang besar memiliki lebih banyak lagi untuk dibeli. Pemilik toko buku yang cukup terkenal, Ibnu al-Nadim seorang bibliophile dan penjual buku, memiliki tempat lantai paling atas di bangunan yang cukup besar di mana pembeli datang untuk melihat manuskrip yang dijual, menikmati suasana dan bertukar ide.
Al-Fahrist, katalog buku-buku yang dijual oleh Ibnu Nadim (bisa didapatkan di dalam toko atau dimana saja yang dapat mengakses toko bukunya), mendaftar lebih dari enam puluh ribu judul dengan subjek yang sangat luas; bahasa dan kaligrafi, skrip Yahudi dan Kristiani, Al-Qur'an dan tafsirnya, linguistik, sejarah dan genealogi (studi tentang keturunan seseorang atau sekelompok keluarga), terbitan resmi pemerintahan (kekhalifahan), tata cara pengadilan, puisi-puisi Islam dan sebelum Islam, terbitan dari sekolah-sekolah Islam, biografi, fiksi populer, travel (India, China dan Indochina), sihir, subjek umum dan fabel. Bagian pertama dari bab pertamanya al-Fahrist dikhususkan pada berbagai macam gaya penulisan termasuk dengan huruf kanji (China), kualitas kertas buku ini sangat-sangat-sangat bagus sekali.
Masyarakat dapat juga meminjam buku-buku. Yaqut menyebutkan bahwa dia diperbolehkan meminjam tidak kurang dua ratus volume tanpa harus membayar semacam jaminan. Mungkin Yaqut adalah pengecualian dan sangat jarang terjadi, namun apa yang terjadi menunjukkan bagaimana hasrat yang luar biasa untuk dapat membaca buku-buku pasa masyarakat Islam di saat itu. Peminjaman buku biasanya harus sesuai peraturan dan perundang-undangan yang hampir sama dengan apa yang biasa diterapkan pada perpustakaan saat ini antara lain ; peminjam harus menjaga dengan sangat hati-hati koleksi yang mereka pinjam; dilarang mencoret-coret buku, bila menemui kesalahan tulis misalnya diharapkan untuk melaporkannya kepada pustakawan; serta mengembalikan buku paling lama sampai tanggal yang ditentukan. Perpustakaan masjid memiliki peraturannya sendiri dalam meminjamkan buku, tentu saja namanya saja menempel dengan masjid, namun yang membedakan dengan perpustakaan lain adalah di perpustakaan masjid anda dapat menemukan bagian khusus untuk pembacanya. Perpustakaan masjid yang besar secara khusus memberikan tempat yang nyaman bagi pemakainya tidak hanya untuk membaca namun juga untuk menulis. Ruangan tersebut didisain dengan cahaya yang memadai, ruang yang nyaman dengan karpet, mat dan matras duduk. Sultan al-Mutawakkil, lagi-lagi, bahkan memerintahkan untuk membangun sebuah tempat khusus untuk pembaca perpustakaan dinamakan `zawiyat qurra' yang dihiasi dengan perlengapan serta furnitur yang elegan.
Sudah menjadi kebiasaan untuk menunjuk seorang pustakawan dalam bertanggung-jawab dengan urusan perpustakaan. Tugas semacam ini hanya untuk orang-orang yang paling terpelajar untuk menjadi penanggung jawab perpustakaan. Manajemen perpustakaan almohand, menurut Ibnu Farhun, adalah salah satu posisi di pemerintahan yang sangat menguntungkan, yang diambil dari ilmuwan yang terbaik. Al Tazi, ditunjuk menjadi pustakawan yang mana dipilih dari antara orang terpelajar dan terbaik dalam masyarakat. Perpustakaan Masjid Agung Aleppo, Sufiya, memiliki Muhammad al-Qasarani sebagai pustakawannnya, al Qasarani adalah seorang pujangga dan memiliki pengetahuan yang mendalam pada sastra, geometri, aritmatika, dan astronomi. Orang-orang seperti ini, menurut Mackensen, sangat bangga dapat ditunjuk sebagai pustakawan. It speaks highly for the generosity of the patrons as well as for the really important work carried out in these libraries that men of marked ability in various fields felt it worth their while to undertake the duties of custodian.

Kesimpulan
Kecintaan Islam pada ilmu pengetahuan menaikkan posisi penulis dan ilmuwan, evolusi industri penerbitan adalah hasil dari kembangkitan Islam di masa lalu. Dalam seratus tahun setelah kebangkitan Islam, Industri buku yang terintegrasi dan sangat kompleks berkembang di dalam Dunia Islam. Tekhnik industri buku mengalami pengembangan dalam setiap tahapnya : komposisi, penyalinan, penambahan ilustrasi, penjilidan, penerbitan, penyimpanan dan penjulannya. Membaca buku atau sekaligus mendengar buku ketika sedang didiktekan menjadi salah satu pekerjaan yang sangat penting saat itu. Dalam beberapa kota besar seperti Baghdad dan Damaskus hampir setengah dari penduduknya terlibat dalam industri buku dan penerbitan. Bagaimanapun, produksi buku adalah industri sekaligus sebagai institusi, sebuah institusi dengan praktek dan kebiasaannya sendiri, memiliki kontrol penuh atas pemalsuan dan salah penterjemahaan, di atas itu semua, adalah institusi yang menjamin pendidikan dan buku bukan menjadi hak preogratif dari segelintir orang saja, namun terbuka untuk siapa saja yang berkeinginan maju. Institusi ini juga menjamin para ilmuwan dan pengarang buku secara ekonomi dan diakui nama mereka dalam karya-karya yang mereka telurkan.
Kebutuhan akan literatur yang tinggi dari populasi oang-orang yang sangat terpelajar, kemampuan menggandakan manuskrip, permintaan yang sangat banyak dari institusi pendidikan pada akhirnyalah yang menstimulis industri buku. Dalam dua ratus tahun sepemeninggalnya Rasulullah Sallahu 'Alaihi Wasallam Industri buku dapat ditemukan hampir pada setiap sudut Dunia Muslim. Memang, seluruh peradaban Islam berotasi di sekitar buku. Perpustakaan, baik itu milik kerajaan, umum, khusus maupun pribadi, menjadi hal yang sangat biasa; toko buku ditemukan hampir di mana saja dari yang kecil, menempel pada masjid, di pusat kota, pusat toko buku, bahkan sampai menyempil sendirian dalam sebuah pasar; dan tentu saja orang-orang yang terlibat di dalam industri buku (dari pengarang, penerjemah, penyalin buku, ahli tafsir, pustakawan sampai penjual buku juga kolektor) yang datang dari semua kelas di masyarakat, dengan berbagai kebangsaan dan etnis serta latar belakang, bersaing dalam arti yang positif dalam memproduksi dan mendistribusikan buku-buku.
Digunakannya kertas bukannya papirus atau kulit sapi dan domba (parchment) menjadikan buku-buku sangat murah. Pemakaian kertas juga akhirnya memberikan efek yang luarbiasa pada waktunya ketika pembuatan kertas diserap oleh barat. Orang-orang Eropa pada masa abad pertengahan masih menggunakan parchment, karena biayanya yang sangat mahal maka menimbulkan masalah ketika harus digandakan. Keuntungan lainnya akan kertas adalah, karena murahnya biaya produksi, penyebaran dan pergerakan yang demikian luasnya atas ilmu pengetahuan. Karena itu, sebagaimana yang Pedersen simpulkan, dengan memproduksi kertas dalam skala besar, orang-orang islam mencapai kemampuan yang sangat luar biasa yang tidak dapar dipandang sebelah mata tidak hanya dalam sejarah buku-buku di Dunia Islam namun seluruh dunia. (Sumber:http://abhicom2001.multiply.com/journal/item/183/Ilmu-Pengetahuan-Institusi-Pendidikan-dan-Perpustakaan-dalam-Islam-Penerbitan-Buku-dan-Pembuatan-Kertas?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem)

Foto 1 Ilustrasi al-Azhar, foto diambil dari library.wustle.edu
Foto 2 Gedung Perpustakaan saat ini, lokasi tidak diketahui diambil dari sini
Foto 3 The mosque of Touba, center of the Mouride brotherhood, of which President Wade is a member.  The picture is taken from outside a very important Islamic library and center of learning. Sumber foto dari sini
Sebelumnya: Ketika Perpustakaan adalah "Rumah Bijak"
Selanjutnya : The Fate of Manuscripts in Iraq and Elsewhere : Nasib Manuskrip Irak dan tempat lainnya

No comments:

Post a Comment

Masukan dan Nasihat dari Sobat Pustaka adalah apresiasi untuk kami.